DIREKTUR Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai pelaku industri pertambangan bakal makin tertekan oleh rencana kenaikan tarif royalti sektor mineral dan batu bara (minerba) yang baru diusulkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Menurut Hendra, wacana kenaikan tarif royalty —mulai dari komoditas batu bara, nikel, hingga tembaga, dan sebagainya— juga akan berdampak pada rencana produksi serta performa investasi sektor pertambangan ke depannya.
“Bagi perusahaan pertambangan, perubahan tarif royalti dalam PP No. 15/2022 dan PP No. 26/2022 akan memberatkan pelaku tambang dan industri pengolahan/pemurnian, terutama di tengah tantangan yang dihadapi saat ini,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (11/3/2025).
Hendra menyebut tarif royalti terhadap beberapa komoditas tambang andalan Indonesia justru lebih tinggi dibandingkan dengan tarif yang berlaku di beberapa negara penghasil utama batu bara, nikel, tembaga, emas, dan timah lainnya.
Untuk itu, lanjutnya, pelaku industri pertambangan meminta kepada Kementerian ESDM agar diberikan waktu lebih komprehensif guna mendiskusikan usulan kenaikan tarif oleh Ditjen Minerba tersebut.
Apalagi, dia menyebut, waktu sosialisasi yang diberikan Kementerian ESDM kepada pelaku usaha terbilang sangat mendadak dan terbatas pada Sabtu (8/3/2025).
“Untuk itu, kami memohon kiranya pemerintah dapat mempertimbangkan rencana kenaikan tarif tersebut. Apalagi, beberapa tahun terakhir, target penerimaan negara dari sektor minerba selalu melebihi target,” kata Hendra.
Berdasarkan rekapitulasi Kementerian ESDM, realisasi investasi sektor minerba sepanjang 2024 mencapai US$7,7 miliar, naik tipis 2,5% dari tahun sebelumnya sejumlah US$7,5 miliar.
Adapun, realisasi PNBP sektor minerba mencapai Rp140,5 triliun pada 2024, mendominasi kontribusi sebesar 52,1% terhadap total penerimaan nonpajak tahun lalu. Realisasi PNBP minerba tahun lalu melebihi target yang ditetapkan senilai Rp113 triliun.
9 Tantangan
Lebih lanjut, Hendra mengelaborasi saat ini pelaku industri pertambangan tengah menanggung setidaknya sembilan beban dari berbagai kebijakan fiskal dan nonfiskal yang sudah terlebih dahulu ditetapkan pemerintah pada 2025.
Pertama, kenaikan biaya operasional (untuk infrastruktur, energi, dan pengolahan) akibat membengkaknya biaya biodiesel B40 yang signifikan.
Kedua, penerapan upah minimum regional (UMR) minimal 6,5%. Ketiga, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%.
Keempat, pemberlakuan mandatori retensi devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) sebesar 100% selama 12 bulan.
Kelima, ketergantungan pada fluktuasi harga nikel global, di mana harga nikel makin mengalami penurunan. Nikel diperdagangkan di US$16.551/ton di London Metal Exchange (LME) hari ini, jauh dari rekor tertingginya di atas US$20.000/ton pada 2023.
Keenam, investasi besar untuk pembangunan smelter atau pemrosesan hilir yang bersifat sangat padat modal (membutuhkan investasi dan pinjaman bank besar) dan padat karya (terdapat ratusan ribu pekerja di sektor hilirisasi).
“Ketujuh, arus kas mayoritas smelter akan sangat ketat dengan adanya penerapan Global Minimum Tax khususnya smelter yang telah mendapatkan fasilitas tax holiday yang baru mulai berjalan 2-3 tahun; sehingga risiko kredit meningkat dan berdampak ke industri perbankan,” terang Hendra.
Kedelapan, perusahaan batu bara juga sedang menghadapi perubahan kebijakan penggunaan harga batu bara acuan (HBA) untuk kegiatan ekspor batu baranya.
Kesembilan, harga domestik batu bara melalui skema domestic market obligation (DMO) ke PT PLN (Persero) sebesar US$70/ton sejak 2018 belum berubah, sementara biaya operasional terus meningkat.
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq mengatakan rancangan PP yang mengatur tarif baru PNBP sektor minerba saat ini masih proses pembahasan final.
Julian menyebut urgensi pemerintah merevisi PP No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku di lingkungan Kementerian ESDM adalah agar penetapan tarif royalti sektor minerba lebih adil dalam pengelolaan sumber daya alam.
“Negara mendapatkan hak yang lebih fair dalam pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan produk yang dihasilkan dan harga jual produk tersebut di pasar global,” kata Julian saat dihubungi, Senin (11/3/2025).
Dalam paparan Konsultasi Publik Usulan Penyesuaian Jenis dan Tarif PNBP SDA Minerba yang digelar akhir pekan lalu, Kementerian ESDM mengusulkan sejumlah komoditas minerba mengalami kenaikan tarif royalti.
Royalti batu bara, misalnya, diusulkan naik 1% untuk HBA ≥ US$90/ton sampai tarif maksimum 13,5%. Sementara itu, tarif izin usaha pertambangan khusus (IUPK) 14%-28% dengan perubahan rentang tarif (revisi PP No. 15/2022).
Semula tarif progresif batu bara menyesuaikan HBA, sementara tarif PNBP izin usaha pertambangan khusus (IUPK) sebesar 14%-28%. (wdh)
Sumber: bloombergtechnoz.com, 11 Maret 2025