Tiga eksekutif pertambangan dan pengolahan Amerika Serikat (AS) mendesak Presiden AS Donald Trump untuk bertindak lebih cepat dalam memperkuat proyek-proyek mineral kritis domestik dan secara khusus meminta pemerintah menekan Indonesia agar mengurangi produksi nikelnya.
Mengutip Reuters pada Minggu (7/12/2025), langkah ini dinilai penting untuk mengurangi dominasi China atas pasokan global bahan baku vital, seperti nikel, yang digunakan untuk elektronik, senjata, dan berbagai barang lainnya.
Para eksekutif dari Perpetua Resources, American Rare Earths, dan Westwin Elements menyampaikan tuntutan ini dalam sebuah konferensi di New York, Kamis (5/12/2025). Mereka menggarisbawahi bahwa meskipun dukungan dari Washington terhadap sektor mineral kritis telah meningkat, upaya tersebut belum cukup untuk mengatasi persaingan sengit dengan China dan memenuhi kebutuhan industri.
Menurut mereka, Pemerintah AS perlu merilis rencana mineral yang komprehensif, mempercepat waktu persetujuan pembiayaan pinjaman oleh Bank Ekspor-Impor AS, dan menekan Indonesia.
Fokus utama para eksekutif AS adalah melonjaknya produksi nikel Indonesia. KaLeigh Long, CEO Westwin Elements, perusahaan swasta yang sedang membangun satu-satunya pabrik pengolahan nikel di AS, meminta pemerintahan Trump untuk campur tangan.
Produksi nikel Indonesia melonjak tajam dalam dua tahun terakhir, mencapai sekitar 60% dari total pasokan global. Akibatnya, harga nikel anjlok hampir 50%. Penurunan harga ini telah memaksa perusahaan global seperti BHP Group (Australia) menghentikan operasinya dan menciptakan tantangan besar bagi Westwin dalam mendapatkan pembiayaan untuk memurnikan 34.000 ton metrik nikel per tahun di Oklahoma pada tahun 2030.
“Saya benar-benar mendesak pemerintah AS untuk berpikir sederhana. Dalam hal nikel, mari tetapkan kuota produksi Indonesia. Jika itu dilakukan, saya hampir bisa menjamin bahwa harga nikel akan pulih dalam semalam,” kata Long.
Long berpendapat bahwa menetapkan batas harga minimum untuk nikel dari Washington tidak praktis, mengingat ukuran pasar logam tersebut yang besar. Pembatasan produksi Indonesia dinilai sebagai solusi yang lebih cepat dan efektif.
Selain masalah nikel, para eksekutif juga menyoroti kebutuhan akan strategi industri yang terintegrasi.
“Kami membutuhkan visi industri. Yang kami butuhkan adalah rencana terintegrasi untuk membangun rantai pasokan mineral kritis dengan semua masukan yang beragam, seperti antimoni, nikel, tembaga, logam langka, dan bagaimana hal itu mengalir ke produsen baterai, produsen magnet, dan berbagai pengguna akhir,” ujar Melissa Sanderson, direktur di American Rare Earths.
Sanderson, mantan diplomat AS dan eksekutif di Freeport-McMoRan, menambahkan bahwa meskipun pasar nikel terlalu besar untuk intervensi harga, pasar logam langka (rare earth metals) yang jauh lebih kecil membutuhkan dukungan harga hingga ada penetapan harga yang lebih transparan, sebab pasar ini juga didominasi oleh China.
Ia juga menyinggung bahwa London Metal Exchange (LME) memperdagangkan nikel tetapi belum menunjukkan minat untuk mengembangkan pasar logam langka, yang membuat harga pasar menjadi tidak transparan dan didikte oleh China. Editor: Prisma Ardianto
