Indonesia Mining Association (IMA) meminta pemerintah mengkaji ulang rencana mandatori biodiesel B50 per 2026, sebab kebijakan B40 yang diterapkan tahun ini saja dinilai sudah membebankan sektor industri pertambangan.
Direktur Eksekutif IMA Hendra Sinadia menyatakan pemerintah perlu mempertimbangkan kembali rencana pelaksanaan mandatori B50 pada tahun depan. Terlebih, evaluasi pelaksanaan B40 tidak kunjung dilakukan oleh pemerintah dan road test B50 tidak kunjung dijalankan.
Menurut Hendra, padahal, evaluasi pelaksanaan B40 perlu dilakukan setiap tiga bulan oleh pemerintah. Apalagi, dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 34/2024 dijelaskan bahwa pelaksanaan B40 perlu dilaksanakan setiap tiga bulan.
Evaluasi yang dilakukan juga diharap dilakukan secara menyeluruh yakni meminta masukan dari pelaku usaha dari hulu ke hilir.
“[Pelaku industri pertambangan] meminta ke pemerintah agar melakukan evaluasi menyeluruh termasuk dengan meminta masukan pelaku usaha atas pelaksanaan B40 serta mempertimbangkan kembali rencana untuk pelaksanaan B50,” kata Hendra ketika dihubungi, Selasa (12/8/2025).
Hendra berpandangan implementasi mandatori B40 tahun ini saja sudah membuat tambahan beban bagi biaya operasional penambang serta perusahaan jasa pertambangan. Tekanan tersebut terjadi ditengah tren harga komoditas minerba yang tengah melandai.
Menurut Hendra, kenaikan beban operasional penambang akibat penggunaan B40 bervariasi tergantung wilayahnya.
Jika lokasi pertambangan berada jauh dari wilayah produksi biodiesel, yakni Sumatera dan Kalimantan, harga B40 yang dibeli disebutnya akan jauh lebih tinggi.
Dia mencontohkan terdapat salah satu perusahaan batu bara yang harus memikul beban operasional tambahan sebesar US$2/ton akibat penggunaan B40.
“Dampak yang juga mengkhawatirkan adalah tidak adanya jaminan atau garansi dari pabrikan kendaraan alat berat atas penggunaan biodiesel di atas campuran 10%,” tegas dia.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani menerangkan mandatori B40 membuat biaya bahan bakar setiap perusahaan mengalami kenaikan yang beragam yakni sekitar Rp2.000—Rp3.000 per liter.
Harga biodiesel B40 tersebut juga ditentukan dengan jarak kirim dari pemasok ke lokasi tambang. Dengan begitu, makin jauh jarak pemasok dari tambang tambang, makin tinggi pula harga jual B40.
“Harga berbeda-beda, apalagi tergantung jarak. Ini supplier-nya juga jauh-jauh,” kata Gita melalui pesan singkat, Selasa (12/8/2025).
Program biodiesel turut didanai pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk menutup selisih atau disparitas harga antara produk minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dan solar atau diesel yang menjadi bahan baku biodiesel.
Dana ‘subsidi’ itu, berasal dari setoran pungutan ekspor (PE) CPO. Akan tetapi, ‘subsidi’ tersebut hanya diperuntukkan untuk B40 segmen public service obligation (PSO), yakni transportasi umum dan layanan pemerintah.
Sementara itu, biodiesel B40 non-PSO tidak mendapatkan tambahan pembiayaan atau ‘subsidi’ dari pemerintah dan diperuntukkan bagi pelaku industri, termasuk pertambangan.
Dalam kaitan itu, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia berjanji akan menyiapkan regulasi untuk membuat harga biodiesel B40 segmen non-PSO menjadi lebih terjangkau.
Akan tetapi, Bahlil belum mengungkapkan mekanisme atau aturan yang ditempuh untuk membuat harga biodiesel B40 segmen non-PSO memiliki harga yang lebih murah.
“Nah, kita lagi mencari formulasi untuk agar perusahaan-perusahaan industri bisa memakai B40 atau B40 dengan harga yang terjangkau,” kata Bahlil usai capaian kinerja semester I-2025, di Kementerian ESDM, Senin (11/8/2025).
Adapun, alokasi ‘subsidi’ biodiesel pada 2025 hanya dibatasi untuk segmen PSO sebanyak 7,55 juta kiloliter (kl) dari total target produksi B40 tahun ini sebanyak 15,6 juta kl.
Sisanya untuk segmen non-PSO sebanyak 8,07 juta kl dijual dengan harga nonsubsidi atau sesuai mekanisme pasar. Hal ini berbeda dengan skema pendanaan program biodiesel sebelumnya yang diberikan untuk seluruh volume produksi, tidak hanya untuk PSO. (azr/wdh)