Bahlil: Kampus Jadi Penerima Manfaat Tambang, tetapi Bukan CSR

MENTERI Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan status perguruan tinggi sebagai penerima manfaat dari industri pertambangan tidak sama dengan skema tanggung jawab sosial korporasi atau corporate social responsibility (CSR).

Enggak lah kalau CSR itu. Jangan persepsikan CSR. Itu kan hanya untuk kelas terbatas. Saya maunya ada yang lebih dari itu,” ujarnya saat ditemui di kantor Kementerian ESDM, Jumat (21/2/2025).

Bahlil menjelaskan, sesuai revisi keempat atas Undang-undang No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), perguruan tinggi yang menjadi penerima manfaat wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) dapat menggunakan ‘manfaat’ tersebut untuk kepentingan pengembangan dan riset.

Namun, tegasnya, bukan berarti semua kampus akan mendapatkan manfaat tersebut. “Bagi kampus yang mau saja. Kan banyak juga kampus yang sudah kaya, yang tidak butuh. Kita harus memberikan ruang kepada kampus yang butuh.”

Dia mencontohkan manfaat tambang tersebut dapat diberikan pada perguruan-perguruan tinggi di sekitar wilayah pertambangan seperti di Sulawesi, Maluku, Papua, atau Kalimantan.

“Mereka datang kepada saya beberapa rektornya, memohon kiranya mereka juga bisa mendapatkan akses dalam pemberian beasiswa, kemudian laboratoriumnya, RnD-nya. Itu untuk kemudian mereka bisa dilibatkan,” terangnya.

“Namun, dalam UU itu tidak diberikan ke kampus, tetapi ke BUMN, BUMD, dan perusahaan yang nantinya akan dikerjasamakan untuk kampus mendapat manfaat.”

Bahlil berjanji aturan turunan dari UU Minerba yang baru akan terbit maksimal enam bulan ke depan, termasuk soal kriteria perguruan tinggi yang bisa menjadi penerima manfaat WIUPK. 

Banjir Penolakan

Dihubungi secara terpisah, Ketua Badan Kejuruan (BK) Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli mengatakan wacana awal bahwa perguruan tinggi  bisa mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP) sudah banyak mendapatkan penolakan, baik dari akademisi maupun kalangan masyarakat pada umumnya.

“PT tidak mau hal ini nanti akan menurunkan kualitas dan pelayanan kepada masyarakat dalam mendidik dan melahirkan generasi berikutnya yang berkualitas dan menurunkan tingkat kritisnya sebagai salah satu pilar kontrol terhadap kondisi sosial ekonomi bangsa,” ujarnya.

Menurut Rizal, banyak perguruan tinggi yang tidak ingin terlibat dalam bisnis pertambangan lantaran khawatir mereka tidak bisa lagi kritis terhadap kebijakan pemerintah

Untuk itu, pemerintah lantas menarik klausul tersebut dan menjadikan perguruan tinggi hanya sebagai penerima manfaat WIUPK, alih-alih pemegang IUP.

“Bisa saja izin tambang yang diberikan kepada perusahaan tertentu nanti diwajibkan memberikan sebagian keuntungannya kepada PT yang ditunjuk. Hal ini akan menimbulkan persoalan baru dalam pengelolaan PT di Tanah Air,” terang Rizal.

Bahkan setelah diubah menjadi ‘sekadar’ penerima manfaat, perguruan tinggi dinilainya masih belum bebas konflik kepentingan di industri pertambangan.

Nantinya, sebut Rizal, pemilihan kriteria perguruan tinggi yang berhak menjadi penerima manfaat dikhawatirkan dapat memunculkan praktik ‘lobi-lobi’ tinggi pimpinan perguruan tinggi kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM.

Alih-alih menjadikan perguruan tinggi sebagai penerima manfaat, Rizal menyarankan pemerintah seharusnya mengoptimalkan BUMN dan BUMD untuk mengelola sumber daya alam (SDA) untuk mendapatkan dividen, setoran pajak, dan manfaat lainnya.

“PT diberikan dana yang cukup dan bersumber dari kas negara dengan mekanisme APBN seperti yang selama ini telah terjadi. Hal lain yang menjadi pertanyaan adalah berapa banyak izin tambang yang harus dikeluarkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dana PT yang katakanlah terakreditasi B misalnya,” ujarnya.

“Selain itu, harus dipertimbangkan juga bahwa kemungkinan dana yang akan didapatkan perguruan tinggi juga kecil atau malah tidak akan mendapatkan bagian dari tambang apabila perusahaan tersebut menurun keuntungannya atau merugi.”

Terlebih, kata Rizal, karakter dari usaha pertambangan adalah berisiko tinggi, padat modal, dan dibarengi dengan volatilitas harga komoditas yang tinggi. “Seperti saat ini harga komoditas batubara dan nikel lagi turun.” — Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi (wdh)

Sumber: bloombergtechnoz.com, 21 Februari 2025

Temukan Informasi Terkini

Laba Sepanjang 2024 Naik 46%, Ini Daftar Program Prioritas MIND ID Sepanjang 2025

baca selengkapnya

Selangkah Lagi UKM Dapat Jatah Tambang, Siapa yang Layak?

baca selengkapnya

PT Gag Nikel Masih Belum Beroperasi di Raja Ampat Meski Tidak Dicabut Izinnya

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top