Bos Antam (ANTM) Ungkap Tantangan di Balik Lonjakan Laba Semester I/2025

Meski membukukan lonjakan kinerja keuangan sepanjang semester I/2025, PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) masih dibayangi sejumlah tantangan fundamental yang berisiko menekan keberlanjutan bisnis.

Selama Januari-Juni 2025, Antam membukukan penjualan sebesar Rp59,01 triliun atau melonjak 154,51% dari periode sama tahun sebelumnya yakni Rp23,18 triliun.

Penjualan Antam ditopang segmen emas yang membukukan pendapatan Rp49,53 triliun, bijih nikel Rp6,7 triliun, feronikel Rp1,16 triliun, alumina Rp920,35 miliar, bijih bauksit Rp542,63 miliar, dan perak berkontribusi senilai Rp54,74 miliar.

Kinerja cemerlang itu berlanjut pada capaian laba bersih yang mencapai Rp4,70 triliun, melonjak 202,89% dibandingkan dengan Rp1,55 triliun pada semester I/2024.

Direktur Utama Antam Ahmad Ardianto mengatakan bahwa kendati pendapatan dan laba bersih paruh pertama 2025 hampir setara dengan kinerja setahun penuh 2024, perseroan masih menghadapi sejumlah tantangan yang dinilai cukup fundamental.

“Namun, yang perlu menjadi perhatian, fokus kami adalah perbaikan fundamental bisnis agar apa yang kami dapatkan ini benar-benar bisa capai secara fundamental dan sustainable,” ujarnya saat rapat dengan Komisi VI DPR, Senin (29/9/2025).

Didi, sapaan akrabnya, menuturkan tantangan utama datang dari penerapan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang ketat serta kewajiban penjualan pada Harga Patokan Mineral (HPM) membuat ruang operasional perseroan terbatas.

Situasi ini juga dialami oleh emiten tambang pelat merah lainnya. Antam bahkan melaporkan sebagian besar penjualan hanya dapat dilakukan ke mitra terbatas seperti PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) untuk bauksit, dan POSCO untuk feronikel.

“Kami hanya bisa menjual kepada yang terafiliasi dengan BAI, dalam hal ini pihak Inalum. Untuk FeNi, kami jadinya terkunci. Stok sudah hampir penuh,” kata Didi.

Selain regulasi, Didi menyatakan fundamental bisnis emas Antam juga diuji oleh keterbatasan pasokan domestik. Dari kebutuhan 45 ton emas per tahun, tambang Pongkor milik perseroan hanya mampu memproduksi sekitar 1 ton.

Emiten tambang anggota MIND ID ini pun bergantung pada buyback emas masyarakat, kerja sama dengan tambang swasta, serta impor dari mitra internasional yang tergabung dalam London Bullion Market Association (LBMA).

Didi menjelaskan potensi produksi emas di Indonesia sebenarnya dapat mencapai 90 ton per tahun. Namun, banyak perusahaan tambang yang memilih ekspor atau menjual ke perusahaan perhiasan. Akibatnya, impor tidak dapat terhindarkan.

“Mungkin 30-an ton [impor], sementara produksi dalam negeri kita mencapai 90 ton emas. [Perusahaan tambang emas] ada yang sebagian menjual emas ke perusahaan perhiasan tetapi ada juga yang diekspor,” pungkasnya. Editor : Ana Noviani

Sumber:

– 29/09/2025

Temukan Informasi Terkini

Digelar di Laos, AMVest Dorong Investasi Mineral Berkelanjutan Kawasan ASEAN

baca selengkapnya

Masuk Bisnis Hulu, Inalum Akan Akuisisi Tambang Bauksit Antam pada Tahun 2030

baca selengkapnya

Berkat Hilirisasi, Antam Raup Laba Rp1,4 Triliun di Semester I-2025

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top