Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas mengakui kinerja operasional sepanjang 2025 mengalami tekanan berat akibat longsor di area Grasberg Block Cave (GBC). Insiden tersebut memaksa perusahaan menghentikan produksi selama lebih dari 50 hari, sehingga target produksi tahun ini dipastikan tidak tercapai.
Tony menjelaskan bahwa operasional tambang bawah tanah Grasberg kembali berjalan pada 28 Oktober, dengan kapasitas yang masih terbatas, yakni sekitar 30% dari kondisi normal.
“Kinerja kami tentu berkurang, di produksi berkurang. Produksi tahun ini tidak tercapai karena kami berhenti berproduksi 50 hari lebih. Total produksi berhenti dan juga baru tanggal 28 Oktober itu mulai produksi 30%-nya,” kata Tony saat ditemui usai menghadiri PLN CEO Forum, di ICE BSD, Tangerang Selatan, Rabu (26/11/2025).
Penurunan kapasitas ini berdampak langsung terhadap volume produksi tembaga dan emas. Dengan operasional terhenti total selama hampir dua bulan, output metal turun signifikan dari rencana awal.
“Jadi, memang dari segi angka metal yang diproduksi itu sangat berkurang, tapi memang sedikit terbantu oleh harga yang membaik. Sehingga hasil akhirnya masih cukup baik untuk tahun ini, penerima negara juga masih baik,” ujarnya.
Kata Tony, Freeport kini mengandalkan zona Deep Mill Level Zone dan Big Gossan untuk menopang produksi, sembari menunggu revitalisasi area yang terdampak.
“Karena memang kami berhenti produksi GBC, grassroot blockading, itu kan kita hentikan semuanya. Yang sekarang produksi yang berjalan itu adalah deep mill level zone dan juga Big Gossan,” ujarnya.
Harga Komoditas Menjadi Penopang
Di tengah tekanan produksi, Freeport masih dapat menjaga kinerja keuangan berkat perbaikan harga komoditas global. Tony menyebut harga tembaga dan emas yang membaik membantu mengompensasi penurunan volume produksi. Hasil akhirnya, menurut dia, masih cukup baik, dan tidak menimbulkan koreksi tajam pada kontribusi perusahaan terhadap negara.
Freeport memperkirakan penerimaan negara pada tahun ini tetap akan mencapai sekitar USD 4 miliar atau setara Rp 66 – 70 triliun. Angka tersebut menunjukkan bahwa meskipun produksi terhenti dan output logam merosot, kontribusi Freeport terhadap fiskal nasional tetap terjaga.
“Kalau nggak salah sekitar USD 4 miliar penerima negara diperkirakan, sampai akhir tahun 4 miliar dolar itu kira-kira sekitar Rp 66-70 triliun ya,” ujarnya.
Antam Tetap Jadi Prioritas Freeport
Tony menambahkan bahwa sekalipun gangguan produksi terjadi lebih dari 50 hari, Freeport tetap mengutamakan pemenuhan kebutuhan Antam.
Keputusan ini menjadi bagian dari komitmen perusahaan menjaga keberlanjutan pasokan bagi industri hilir mineral nasional. Ia menegaskan bahwa isu pasokan belum sepenuhnya selesai, namun prioritas penyaluran tetap berlaku.
“Tetap. Yang emas yang kita produksi itu kita utamakan untuk disuplai ke Antam,” pungkasnya.
