PLT CEO PT Vale Indonesia Tbk (INCO) Bernardus Irmanto mengatakan persyaratan environmental, social, and governance (ESG) yang makin ketat di sektor pertambangan tidak akan merugikan pelaku industri nikel secara bisnis.
Menurut Bernardus, komitmen ESG tidak semestinya dipandang sebagai tantangan dalam bisnis pertambangan nikel.
Tanpa ESG atau prinsip keberlanjutan, lanjutnya, perusahaan tambang tidak akan dapat beroperasi dan melakukan bisnis untuk waktu yang lama; kecuali perusahaan tersebut menghasilkan keuntungan.
“Banyak orang yang benar-benar bertentangan antara melakukan ESG atau menghasilkan keuntungan,” ujarnya ditemui di sela ESG Forum 2025, dikutip Selasa (3/6/2025).
“Saya memiliki contoh bagus lainnya, bahwa jika Anda melakukan ESG atau keberlanjutan dengan benar, maka Anda benar-benar menghasilkan keuntungan, dan Anda benar-benar melakukan bisnis untuk waktu yang sangat lama.”
Bernardus mencontohkan keputusan Vale untuk membangun tiga pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di wilayah kerjanya merupakan keputusan keuangan yang baik. Ketiga PLTA—yaitu Larona, Balambano, dan Karebbe —tersebut berlokasi di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Manuver tersebut tidak hanya mengatasi masalah lingkungan, tetapi bisa memposisikan INCO sebagai perusahaan dengan intensitas emisi karbon terendah di Indonesia.
Pada saat bersamaan, lanjut Bernardus, investasi ESG juga memberikan keunggulan kompetitif bagi Vale Indonesia dari sudut pandang biaya operasional.
“Jadi berbuat baik kepada lingkungan tidak berarti Anda mengorbankan keuntungan. […] Jadi Anda memposisikan diri dalam keunggulan yang sangat kompetitif. Jika kita melakukan itu, maka kita bisa menarik mitra yang berpikiran sama seperti Ford, misalnya, dalam proyek kita di Pomalaa,” ujarnya.
Vale sebelumnya menggandeng Ford Motor Company bersama dengan Zhejiang Huayou Cobalt untuk mendirikan pabrik nikel berbasis baterai di Pomalaa dengan nilai investasi sekitar nyaris Rp70 triliun.
Sepanjang 2024, Vale Indonesia mencetak laba US$57,76 juta atau sekitar Rp935,71 miliar, lebih rendah 78,94% dari tahun sebelumnya yang mencapai US$274,33 juta.
Penurunan tajam ini terjadi seiring dengan melemahnya pendapatan perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan nikel tersebut.
Pendapatan INCO pada 2024 tercatat US$950,38 juta, atau turun 22,87% dari tahun sebelumnya yang mencapai US$ 1,23 miliar.
Kampanye Hitam
Untuk diketahui, pelaku industri nikel di Tanah Air tengah menyusun format standarisasi aspek ESG sektor pertambangan di dalam negeri, agar komoditas andalan Indonesia itu tidak tergilas oleh kampanye ‘dirty nickel’.
Ketua Badan Kejuruan (BK) Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli menjelaskan selama ini standar ESG di industri tambang yang bisa diterima oleh pasar internasional adalah Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA).
Hanya saja, dia tidak menampik, persyaratan dalam standar IRMA masih memberatkan bagi pelaku industri pertambangan nikel di Tanah Air.
Untuk itu, Rizal menyebut Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) tengah menggodok standar yang bisa diberlakukan di Indonesia.
Standar ESG yang tengah disusun tersebut tetap akan menyelaraskan dengan kriteria yang berlaku di pasar internasional, tetapi dengan tidak memberatkan pelaku industri di dalam negeri.
“Tahap awalnya adalah bagaimana perusahaan-perusahaan kita itu bisa mengaplikasikan ESG dahulu. Kalau semua sudah standar dengan perlindungan, nanti baru standarnya dinaikkan bertahap. Jangan langsung ikut IRMA, enggak kuat,” kata Rizal di sela acara ESG Forum 2025.
Standardisasi ESG yang sedang disusun tersebut terutama akan diterapkan untuk pertambangan nikel, sebelum diperluas ke sektor lain seperti batu bara.
“Nanti kita akan berikan masukan ini kepada pemerintah, sehingga itu bisa dibuat semacam [rujukan]. Nanti akan kita kasih [ke Kementerian ESDM],” ujarnya.
Sebelumnya, APNI memperingatkan ongkos produksi nikel di Indonesia bisa makin mahal, seiring dengan kian ketatnya persyaratan ESG di pasar komoditas global.
Sekjen APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan negara tujuan ekspor nikel, terutama Uni Eropa (UE), makin memperketat persyaratan rendah karbon dalam proses produksi berbagai komoditas, tidak terkecuali mineral logam dan produk derivatifnya.
“Ini yang lucu, kita ini disyaratkan wajib [memenuhi kriteria] ESG. Ini sudah umum ya, dari ore [bijih] sampai ke pabrik, sampai ke produk olahannya. Apapun itu. Kalau namanya ESG, berarti ada penambahan biaya,” ujarnya saat dihubungi.
Meidy menjelaskan syarat ketertelusuran jejak karbon tersebut akan mengerek ongkos produksi industri nikel di Tanah Air, lantaran produsen harus berinvestasi lebih mahal untuk menjadikan praktik bisnisnya lebih ramah lingkungan.
Permasalahannya, Meidy menggarisbawahi kondisi pelaku industri nikel di Tanah Air saat ini sebenarnya sudah ‘berdarah-darah’. Mereka ditekan oleh tren harga nikel yang terus menurun selama dua tahun terakhir.
“Kalau harga [biaya produksi] nambah untuk memenuhi syarat ESG, apakah ada buyer-nya untuk nikel premium yang katanya sudah berbasis ESG? Kan belum ada. Harga masih sama, tetapi kita ada penambahan cost. Terus demand-nya juga berkurang, tetapi kita diwajibkan untuk memenuhi syarat ESG,” tuturnya.
Di tingkat global sejak awal tahun lalu, London Metal Exchange (LME) dibanjiri desakan oleh banyak perusahaan tambang Barat untuk membedakan klasifikasi antara ‘nikel hijau’ atau green nickel dan nikel biasa dalam perdagangan komoditas logamnya.
Penambang-penambang global menilai nikel murah yang diproduksi di Indonesia telah merusak harga pasar nikel premium, yang diproduksi dengan ongkos lebih mahal lantaran menggunakan sistem dan teknologi ramah lingkungan.
Namun, LME sebagai pengelola pasar logam barometer dunia justru memberi sinyal bahwa pasar ‘nikel hijau’ atau disebut juga ‘nikel premium’ atau green nickel masih belum sanggup menyaingi produksi logam sejenis dari China atau Indonesia. (wdh)
Sumber: https://www.bloombergtechnoz.com, 3 JUni 2025