Bukit Asam (PTBA) Siapkan Rp300 Miliar Garap Grafit Sintesis

PT BUKIT Asam (Persero) Tbk. (PTBA) menyiapkan anggaran sekitar Rp300 miliar untuk mengembangkan pilot project hilirisasi batu bara menjadi grafit sintetis. 

“Nilainya tidak terlalu besar, mungkin [sekitar] Rp200 miliar sampai Rp300-an miliar,” kata Direktur Utama PTBA Arsal Ismail saat konferensi pers Kinerja Keuangan dan Operasional Tahun Buku 2024 PTBA di Jakarta, Senin (14/4/2025).

Arsal menuturkan biaya pilot project tersebut menggunakan kas internal perseroan.

Arsal mengatakan proyek uji coba itu tidak menggunakan bantuan dari Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), seperti proyek gasifikasi batu bara yakni dimethyl ether (DME). 

PTBA telah bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam pengembangan artificial graphite dan anode sheet untuk bahan baku baterai lithium-ion atau Li-ion tersebut.

Peluncuran perdana proyek uji coba itu telah berlangsung di kawasan industri Tanjung Enim pada 15 Juli 2024.

Menurut Arsal, studi kelayakan proyek tersebut akan rampung tahun ini. Selanjutnya, kata Arsal, proyek bisa dilanjutkan pada tahapan pembangunan dan komersialisasi untuk 3 tahun berikutnya. 

“Pengembangan batu bara menjadi artificial graphite dan anode sheet itu merupakan wujud komitmen PTBA dalam mendukung kebijakan pemerintah yang mendorong hilirisasi batu bara,” kata Arsal.

Di sisi lain, dia berpendapat, hilirisasi batu bara menjadi grafit sintetis lebih ekonomis ketimbang DME. 

Alasannya, grafit sisntesis dapat memperkuat ekosistem baterai kendaraan listrik dengan mengolah batu bara menjadi anoda,  komponen dari baterai kendaraan listrik.

“Hilirisasi artificial graphite lebih ekonomis dibandingkan DME, nanti akan dilakukan kajian lagi. Jadi kami di MIND ID sebagai anggota holding ini dari artificial graphite ini bisa menjadi anoda,” tuturnya.

Dengan demikian, seluruh komponen baterai kendaraan listrik nantinya 90% berasal dari produk dalam negeri. Jika diharuskan untuk impor, kata Arsal, maka nilainya terbilang kecil. 

Arsal juga menyebut, kalau pun PTBA hanya menjual lembaran graphite nantinya akan tetap menguntungkan karena pasar dari produk tersebut akan tetap ada. 

“Padahal kalau kita sampai artificial graphite cuma sampai lembaran-lembaran, kalau dijual, secara komersil tetap menguntungkan dan pasarnya, berdasarkan analisa kawan-kawan Kemenperin tetap ada dan ada prospek,” imbuhnya. 

Di sisi lain, Arsal menyebut PTBA akan tetap mengikuti arahan pemerintah ihwal kelanjutan proyek DME. PTBA mengaku akan hati-hati dalam menggarap proyek DME yang akan dibiayai oleh Danantara tersebut. 

PTBA pun mengaku sudah pernah berkomunikasi dengan beberapa investor yang pernah menggarap proyek DME.

“Jumlah investor DME tidak banyak. Mungkin dari China ada beberapa. Sekarang kami kaji dengan hati-hati. Kami dukung apa yang dilakukan oleh pemerintah,” ujar Arsal. 

PTBA sendiri sudah memiliki kesiapan dari sisi ketersediaan lahan pabrik maupun pasokan batubara untuk proyek tersebut. 

“Tinggal nilai keekonomiannya yang kami bicarakan detail dengan pemerintah, termasuk offtaker-nya,” tutur Arsal.

Pada era Presiden ke-7 Joko Widodo, proyek strategis nasional (PSN) gasifikasi batu bara menjadi DME memiliki taksiran nilai investasi US$2,1 miliar. 

Saat itu, proyek ini diharapkan menjadi program mercusuar untuk substitusi impor gas minyak cair atau LPG yang nilainya mencapai Rp7 triliun per tahun.

Ide gasifikasi batu bara menjadi DME pada awalnya dipasrahkan pemerintah ke PTBA, dengan bantuan investasi dari Air Products & Chemical Inc (APCI) asal Amerika Serikat (AS).

Proyek itu sejatinya direncanakan selama 20 tahun di wilayah Bukit Asam Coal Based Industrial Estate (BACBIE) yang berada di mulut tambang batu bara Tanjung Enim, Sumatra Selatan. BACBIE akan berada di lokasi yang sama dengan PLTU Mulut Tambang Sumsel 8.

Dengan mendatangkan investasi asing dari APCI, proyek itu mulanya digadang-gadang sanggup menghasilkan DME sekitar 1,4 juta ton per tahun dengan memanfaatkan 6 juta ton batu bara per tahun.

Namun, pada medio 2023, APCI hengkang dari proyek tersebut untuk fokus menggarap proyek hidrogen biru di AS. Keputusan hengkang tersebut lantas membuat kelanjutan nasib proyek gasifikasi batu bara menjadi DME terkatung-katung hingga saat ini. (mfd/naw)

Sumber: bloombergtechnoz.com, 14 April 2025

Temukan Informasi Terkini

Laba Sepanjang 2024 Naik 46%, Ini Daftar Program Prioritas MIND ID Sepanjang 2025

baca selengkapnya

Selangkah Lagi UKM Dapat Jatah Tambang, Siapa yang Layak?

baca selengkapnya

PT Gag Nikel Masih Belum Beroperasi di Raja Ampat Meski Tidak Dicabut Izinnya

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top