PT Timah (Persero) Tbk. (TINS) berencana menggenjot pertambangan timah primer, setelah mendapati cadangan timah aluvial di wilayah operasionalnya bakal makin menipis pada 2029.
“Data-data eksplorasi yang kami miliki di PT Timah itu bisa dikatakan kandungan atau cadangan dari aluvial ini sudah mulai berkurang ya nanti pada 2029,” kata Direktur Pengembangan Usaha PT Timah Suhendra Yusuf Ratuprawiranegara ditemui di sela media gathering di Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, Sabtu (23/8/2025) malam.
“Cadangan-cadangan dalam angka tertentu, maaf saya enggak bisa sebutkan di sini, sudah mulai mengarah di sana [tambang primer].”
Berdasarkan catatan Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bijih timah (tin ore) yang ditambang di Indonesia umumnya berasal dari jenis endapan timah aluvial dan sering disebut sebagai endapan timah sekunder atau disebut timah placer.
Timah aluvial biasanya berbentuk seperti pasir diangkut dari lautan sedangkan timah primer berbentuk batuan.
Menurut Suhendra, PT Timah mulai mengarahkan fokus penambangan terhadap cadangan sumber primer; atau yang berada di daratan dan biasa berbentuk batuan yang ada di bukit. Perseroan menilai hal tersebut sebagai proses transformasi.
Dia mengakui PT Timah memang belum menggarap cadangan timah primer secara optimal di Tanah Air. Untuk mendukung hal itu, perseroan bakal menjajaki berbagai opsi teknologi yang mumpuni dan efisien dari sisi bisnis untuk meningkatkan pendapatan sekaligus profitabilitas perusahaan.
“Cadangan di tambang primer ini yang belum kami garap secara optimal. Kami mengetahui cadangannya itu cukup besar ya dalam hitungan ratusan ribu ton juga,” ujar Suhendra.
Dua Pertambangan
Hingga saat ini, kata dia, terdapat dua pertambangan timah primer yang menjadi fokus PT Timah, yakni di Paku Kabupaten Bangka Selatan dan Batu Besi di Kabupaten Belitung. Akan tetapi, perseroan setidaknya memiliki empat hingga lima lokasi pertambangan timah primer di Indonesia.
Suhendra mengatakan cadangan timah primer yang dimiliki PT Timah mencapai 300.000 ton dan akan dikembangkan secara optimal pada saat ini hingga lima tahun mendatang.
Meskipun saat ini sudah ada tambang primer yang beroperasi, kata Suhendra, PT Timah bakal melakukan studi kelayakan ulang (re-feasibility study) dengan menyesuaikan kondisi geologi dan teknologi terbaru.
“Pertimbangan-pertimbangan teknis di lapangan seperti apa. Termasuk kemarin pada saat saya mengunjungi di Paku itu selintas, saya lihat ini next pasti menggunakan blasting dengan kondisi kontur dan geologi yang ada primer itu kan batu,” tuturnya.
Dia menambahkan hingga saat ini pertambangan timah primer yang dimiliki perusahaan masih berkontrak dengan mitra, terhitung sejak 10 tahun lalu. Ke depannya, lanjut Suhendra, direksi PT Timah ingin menggarapnya secara mandiri ketika mulai beroperasi kembali pada 2026.
“Saat ini kita stop dahulu karena ada kebijakan dari Pak Dirut PT Timah untuk coba kita garap sendiri. Ini tengah kami persiapkan untuk langkah ke depannya seperti itu. Kemungkinan besar akan kita kita running kalau mau kita garap paling cepat itu pada awal 2026,” imbuhnya.
Menyitir data Badan Geologi Kementerian ESDM per Desember 2024, nilai sumber daya bijih timah yang terverifikasi sebesar 4,99 miliar m3, nilai cadangan yang terverifikasi sebesar 5,09 miliar m3, dari total sumber daya dan cadangan bijih timah.
Berdasarkan hasil pemutakhiran diperoleh pada 2024, total sumber daya bijih timah sebesar 8,27 miliar m3, total cadangan bijih 6,43 miliar m3, total sumber daya konsentrat kasiterit (SnO2) 3,517 juta ton, total cadangan konsentrat SnOz 1,99 juta ton, dan total sumber daya logam timah (Sn) sebesar 2,53 juta ton, serta total cadangan logam timah (Sn) 1,44 juta ton.
Adapun, perkembangan nilai sumber daya dan cadangan logam timah pada 2020-2024, nilai total sumber daya bijih timah mengalami kenaikan 195 juta m3 apabila dibandingkan dengan 2023, sedangkan total cadangan bijih timah mengalami kenaikan sebesar 69 juta m3. (mfd/wdh)