Harga batu bara kontrak Desember jatuh setelah terbang tiga hari.
Merujuk Refintiv, harga batu bara pada perdagangan Rabu (19/11/2025) ditutup di posisi US$ 113,4 per ton atau jatuh 1,61%. Penguatan ini memutus tren positif batu bara yang menguat 3,4% dalam tiga hari sebelumnya.
Harga batu bara melandai setelah terbang tinggi karna pembeli batu bara kokas di China semakin berhati-hati dalam membeli.
Banyak produsen kokas dan pabrik baja menahan pembelian karena margin mereka rendah dan prospek permintaan dari industri hilir kurang jelas.
Data SXcoal menunjukkan lelang online batu bara kokas menunjukkan kegagalan transaksi. Beberapa lot tidak laku karena harga pembukaan terlalu tinggi menurut pembeli.
Meskipun ada beberapa penurunan produksi di tambang, pasokan batu bara kokas masih longgar dan belum cukup ditekan untuk menahan penurunan harga. Produksi kokas tetap, tetapi stok batu bara kokas pun menumpuk.
Harga batu bara kokas berada dalam koreksi ringan. Menurut Shanghai Metal Market, harga kokas dan batu bara kokas lokal kini berada di titik terendah dalam sembilan tahun, dan diperkirakan akan ada putaran pemotongan harga kedua.
Untuk beberapa grade batu bara kokas blending (campuran), permintaan melemah, membuat produsen kesulitan menjual dengan harga tinggi.
Produsen baja di China kehilangan profit, sehingga menahan pembelian batu bara sebagai bahan baku kokas. Karena pasokan berlebih, produsen dan trader mengalami kesulitan menyerap stok lama.
Dengan permintaan yang lemah dan tekanan pasokan, pasar batu bara kokas China diperkirakan akan tetap berada di bawah tekanan dalam waktu dekat.
Jika tidak ada gangguan pasokan signifikan atau stimulus permintaan dari hilir, ada potensi penurunan harga lanjutan.
RI Kesulitan Pensiunkan PLTU?
Rencana Indonesia untuk memensiunkan kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara sebesar 6,7 gigawatt pada 2030 demi memerangi perubahan iklim kini berisiko gagal akibat mandeknya pencairan pendanaan dari negara-negara kaya.
Dikutip dari Reuters, sebanyak 10 negara donor yang tergabung dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) berjanji pada 2022 untuk menghimpun US$20 miliar dalam waktu 3-5 tahun untuk Indonesia, yang sempat disebut sebagai “transaksi pembiayaan iklim terbesar di dunia.” Dana untuk memensiunkan PLTU yang mewakili 13,5% kapasitas PLTU nasional seharusnya termasuk dalam komitmen tersebut.
“Kami belum melihat adanya komitmen dari siapapun untuk mendanai phase-out batubara,” kata Paul Butarbutar, Kepala Sekretariat JETP Indonesia, di sela-sela KTT Iklim COP30 di Brasil.
“Jika tidak ada yang benar-benar bersedia mendanai phase-out batubara, kita harus mempertanyakan apakah phase-out benar-benar opsi terbaik,” tambahnya.
Masalah ini menyoroti kekhawatiran lebih luas di negara berkembang terkait pendanaan iklim internasional yang selama ini berjalan sangat lambat.
JETP Indonesia telah menyetujui US$2,85 miliar dalam bentuk pinjaman dan ekuitas, serta US$186,9 juta dalam bentuk hibah untuk proyek jaringan listrik, energi terbarukan, efisiensi energi, dan transportasi listrik. Namun, belum ada satu pun dana yang disetujui untuk mempensiunkan PLTU.
Sepuluh negara donor tersebut mencakup Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan lainnya. AS kini telah menarik diri.
Jepang yang kini memimpin koordinasi JETP Indonesia bersama Jerman – tidak memberikan komentar.
Kantor Pers Jerman menyatakan sedang bekerja dengan Indonesia untuk mencari “cara yang paling efektif dan layak secara politik” untuk mencapai target JETP. Jerman juga menyebut bahwa donor telah berkomitmen menyediakan US$19,53 miliar dari total janji awal US$20 miliar.
Namun komitmen tidak sama dengan pencairan.
Afrika Selatan dan Vietnam juga memiliki program JETP. Banyak negara menolak usulan global untuk menghapus subsidi bahan bakar fosil, dengan alasan subsidi tersebut membantu pengentasan kemiskinan.
Butarbutar tidak menyebutkan berapa besar pendanaan yang diperlukan untuk mencapai target pensiun PLTU 6,7 GW. CNBC INDONESIA RESEARCH (mae/mae)
