Chief Investment Officer (CIO) Danantara Pandu Sjahrir mengungkapkan pihaknya memperkirakan akan mulai menerima dana segar dari penerbitan Obligasi Patriot dalam waktu beberapa minggu mendatang, setelah resmi terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada hari ini, Rabu (1/10/2025).
Pandu dalam wawancara dengan Bloomberg mengatakan para taipan terkaya di Indonesia telah berjanji untuk membeli obligasi senilai Rp50 triliun (US$3 miliar) tersebut, meskipun imbal hasil obligasi tersebut lebih rendah dibandingkan obligasi pemerintah yang sejenis.
“Mereka melihat ini sebagai cara yang signifikan untuk berkontribusi bagi negara. Mereka sangat antusias dengan proyek ini karena dapat dijalankan secara profesional dalam skala yang sangat besar,” kata Pandu.
Obligasi Patriot disiapkan untuk membiayai lebih dari 30 proyek konversi sampah menjadi energi di berbagai daerah di Indonesia. Pandu juga menambahkan, sekitar 80% dari total dana Danantara senilai US$8 miliar akan dialokasikan untuk proyek dalam negeri, sementara sisanya diarahkan ke investasi luar negeri.
Selain sektor energi, SWF yang dibangun era Presiden Prabowo itu juga membidik investasi di pusat data, ketahanan pangan, serta berencana masuk ke bisnis manajemen investasi dengan kesepakatan yang ditargetkan tercapai pada akhir 2025 atau awal 2026.
Tambahan Saham Freeport
Sementara itu, Indonesia disebut hampir mencapai kesepakatan dengan Freeport-McMoRan Inc. untuk mengambil alih tambahan saham di tambang tembaga raksasa Grasberg. Kesepakatan tersebut akan menambah porsi kepemilikan pemerintah hingga 51% yang sebelumnya telah mencapai mayoritas setelah akuisisi pada 2018.
Meski sempat disebut bisa dilakukan tanpa pembayaran, Pandu menyebut proses pengambilalihan saham kali ini tetap akan disertai biaya.
“Saya tidak akan bilang gratis, selalu ada biayanya,” ujarnya di Milken Institute Asia Summit di Singapura.
Pandu juga mengatakan akuisisi akan memberi keuntungan bagi para pelaku. “Ini sama-sama menguntungkan bagi kedua belah pihak.”
Sebelumnya, CEO Danantara Rosan Roeslani menyebutkan bahwa Freeport telah menyetujui pemberian 12% saham di unit lokalnya secara cuma-cuma kepada pemerintah sebagai imbalan atas perpanjangan izin operasi hingga setelah 2041. Meski begitu, perusahaan asal Amerika Serikat itu menyatakan bahwa kedua pihak masih membahas kesepakatan yang “menguntungkan”.
Bloomberg menyebut negosiasi kepemilikan mayoritas tambang Grasberg sendiri memakan waktu bertahun-tahun dan sering diwarnai ketegangan, mulai dari sengketa pajak hingga isu lingkungan. Pada 2017, pemerintah sempat menghentikan ekspor konsentrat, menyebabkan produksi berhenti selama berminggu-minggu. Freeport bahkan sempat mengancam membawa sengketa tersebut ke arbitrase internasional.
Tambang Grasberg di Papua Tengah, yang merupakan salah satu tambang tembaga terbesar di dunia, kini masih dalam tahap pemulihan setelah insiden semburan lumpur yang menewaskan sedikitnya dua orang. Insiden itu memaksa Freeport memangkas proyeksi produksi tembaga untuk tahun ini dan tahun depan, serta mengumumkan status force majeure pada pekan lalu. Editor : Anggara Pernando