Harga nikel yang diperdagangkan di London Metal Exchange (LME) menuju level US$16.000/ton, atau mendekati level terendah sejak 2021. Nikel di LME hari ini, Selasa (16/7/2024), turun 0,92% menjadi US$16.701/ton pada penutupan perdagangan Senin (15/7/2024).
Adapun, level tersebut berada di bawah proyeksi yang disampaikan BMI –lengan riset dari Fitch Solutions Company – yang mem–proyeksikan harga berada pada level US$ 18.000/ton. Hal tersebut terjadi karena adanya proyeksi peningkatan pasokan yang signifikan pada 2024, seperti yang terjadi pada 2023, didorong oleh peningkatan produksi di Indonesia dan China daratan yang menjadi pendorong utama penurunan harga.
“Kami memperkirakan dinamika serupa akan membatasi pertumbuhan harga pada 2024 karena produksi di produsen utama China daratan dan Indonesia melonjak,” tulis BMI dalam laporan terbaru, dikutip Jumat (5/7/2024).
BHP Tutup Bisnis Nikel
Raksasa pertambangan BHP Group Ltd akan menutup bisnis nikelnya yang merugi di Australia hingga setidaknya awal 2027, setelah kelebihan pasokan logam secara global menyebabkan kekacauan di pasar.
Perusahaan tersebut akan menempatkan bisnis Nickel West pada “perawatan dan pemeliharaan” mulai Oktober karena rendahnya harga logam yang digunakan dalam baterai kendaraan listrik, katanya dalam sebuah pernyataan pada Kamis. Mereka juga akan menghentikan pengem–bangan tambang nikel West Musgrave.
BHP berencana mengeluarkan A$450 juta (US$304 juta) per tahun untuk mendukung potensi dimulainya kembali bisnis nikel jika kondisi pasar dan prospek nikel membaik.
Anomali Harga
Kendati demikian, harga nikel sempat mengalami penguatan hingga ke level US$20.800/ton, di saat para analis mem-proyeksikan harga pada 2024–2026 bakal jatuh.
“Tahun lalu saya hadir di London Metal Exchange [LME] Week di London. Waktu itu everything is doomed karena semua analis itu mengatakan harga nikel pada 2024-2026 itu akan jatuh,” ujar Direktur Utama PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) Nicolas D. Kanter dalam agenda MINDialogue di Jakarta Selatan, dikutip Jumat (20/6/2024).
Menurut Nicolas, kondisi geopolitik memang berpengaruh terhadap harga komoditas. Namun, terdapat dua sentimen lainnya yang turut berkontribusi terhadap kenaikan harga.
Pertama, berkurangnya pasokan dari negara produsen nikel besar, seperti Rusia dan New Caledonia, yang memengaruhi ketersediaan pasokan dan mengerek harga. Kedua, tertahannya Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) penambang nikel di Indonesia.
“Indonesia sekarang menjadi majority atau player di dunia, RKAB itu tertahan beberapa bulan sehingga itu juga menyebabkan harga nikel itu menjadi baik,” ujarnya.
Selain nikel, komoditas logam non-ferrous andalan Indonesia lainnya juga melemah. Tembaga melemah 0,72% menjadi US$ 9.806/ton, timah melemah 1,33% menjadi US$33.246/ton, dan aluminium turun 0,79% menjadi US$2.461/ton. (dov/roy)
Sumber : Bloombergtechnoz.com, 16 Juli 2024
