KALANGAN pelaku industri pertambangan berpendapat wajib penempatan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) di dalam negeri sebanyak 100% dan jangka waktu satu tahun bakal menyulitkan perusahaan sektor tersebut.
Kebijakan ini jauh lebih ketat dibandingkan dengan aturan sebelumnya yang hanya mempersyaratkan penempatan DHE SDA paling sedikit 30% selama minimal tiga bulan.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia/Indonesian Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mengaku belum bisa berkomentar lebih jauh karena revisi peraturan pemerintah tersebut belum terbit. Namun, dia berharap rencana aturan tersebut tidak menjadi kenyataan.
“Dengan aturan yang saat ini berlaku [parkir DHE SDA 30% selama 3 bulan] saja sudah menyulitkan perusahaan dalam mengelola arus kas, apalagi jika aturannya lebih ketat,” tegas Hendra saat dimintai konfirmasi, Rabu (22/1/2025).
Senada, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dengan tegas menolak rencana aturan baru wajib penempatan domestik DHE SDA tersebut.
“Semua menolak. Seluruh asosiasi menolak. Bukan hanya [sektor] tambang, bukan hanya SDA. Pokoknya [industri] yang [berorientasi] ekspor,” kata Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey.
Dia menegaskan sejumlah asosiasi seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) hingga Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) kompak menolak kebijakan tersebut.
Menurutnya, aturan baru itu tidak sebanding dengan jumlah bunga bank yang dibayarkan ketika perusahaan tambang meminjam kredit di perbankan.
Tidak hanya itu, seluruh biaya produksi juga naik imbas penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12%, sedangkan harga nikel makin hari makin menurun.
Belum lagi, sektor pertambangan juga diwajibkan mengimplementasikan mandatori biodiesel B40 yang berlaku efektif mulai Februari 2025.
“[Isu] yang paling berdampak kan harga jual turun. Harga bahan baku naik. Cash flow dikunci gitu loh. Risiko kredit macet juga bisa karena nickel processing ini kan very capital intensive,” tutur Meidy.
“Itu kan dana parkir kan [nanti] mati dong [usaha] saya.”
Berlaku Maret
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan perubahan ketentuan DHE SDA dengan wajib penempatan 100% dan jangka waktu satu tahun akan berlaku 1 Maret 2025.
Airlangga mengatakan pemerintah saat ini memang sedang melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah No. 36/2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan dan/atau Pengolahan SDA untuk menjadi landasan hukum perubahan ketentuan tersebut.
“Terhadap kebijakan ini, pemerintah akan segera merevisi PP No. 36/2023 dan akan diberlakukan per 1 Maret tahun ini,” ujar Airlangga dalam konferensi pers di kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (21/1/2025).
Selain itu, Airlangga mengatakan pemerintah akan memberikan sosialisasi kepada para pemangku kepentingan terkait dengan perubahan ketentuan tersebut.
Di sisi lain, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) juga berjanji akan menyiapkan fasilitas berupa tarif pajak pertambahan nilai (PPh) 0% atas pendapatan bunga pada instrumen penempatan devisa hasil ekspor.
Sekadar catatan, ketentuan PPh sebelumnya termaktub dalam Peraturan Pemerintah No. 22/2024 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Penempatan DHE SDA pada Instrumen Moneter dan/atau Instrumen Keuangan Tertentu di Indonesia.
Beleid itu mengatur penghasilan yang diterima atau diperoleh eksportir dari penempatan DHE SDA pada instrumen moneter dan/atau instrumen keuangan tertentu di Indonesia, dikenai PPh yang bersifat final.
“Kemudian atas instrumen penempatan devisa hasil ekspor, agunan kredit rupiah kalau mau menggunakan back to back, eksportir dapat memanfaatkan instrumen penempatan DHE sebagai agunan back to back kredit rupiah dari bank maupun Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia [LPEI] untuk kebutuhan rupiah di dalam negeri,” ujarnya. (mfd/wdh)
Sumber: bloombergtechnoz.com, 22 Januari 2025