Di Balik Status Kongo sebagai Penghasil Tembaga Terbesar Dunia…

LINI masa media sosial X diramaikan dengan video detik-detik longsor di sebuah gunung yang meruntuhkan material tembaga di dalamnya.

Insiden itu terjadi di Katanga, Republik Demokratik (RD) Kongo, Afrika Tengah pada Minggu (17/11/2024) pagi waktu setempat.

Dikutip dari Britannica, wilayah Katanga memang memiliki sumber daya mineral yang kaya, terutama tembaga kobalt, seng, kasiterit, batu bara, mangan, perak, emas, paladium, dan beberapa uranium.

Sumber daya alam itu terbentang di barat laut Luanshya, Zambia hingga Katanga di Kongo sepanjang 450 kilometer (km).

Sejak 1950-an, Katanga dinobatkan sebagai wilayah dengan penghasil tembaga terbesar di dunia, yakni bernilai sekitar 24 triliun dollar AS.

Hingga kini, wilayah itu menyumbang sepersepuluh deposit tembaga di dunia, sebagain besarnya berasal dari deposit sedimen Prakambrium Akhir.

Cadangan tembaga di Kongo memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian negara. Namun, aktivitas pertambangan dan kondisi sosial di sana menimbulkan kekhawatiran tersendiri.

Konflik berkepanjangan

Dikutip dari The Economist, Kongo dipenuhi dengan harta karun berupa sumber daya mineral yang tinggi. Namun, perang saudara yang berlangsung lama telah menghancurkan kawasan tersebut hampir satu dekade.

Selain itu, penambangan besar-besaran di Kongo juga menimbulkan dampak yang cukup mengkhawatirkan.

Laporan Amnesty International yang dirilis pada 12 September 2023 menunjukkan, penambangan tambang berskala besar di Kongo menyebabkan pengusiran paksa, pelanggaran hak asasi manusia, dan kekerasan seksual.

Sekretaris Jenderal Amnesty International, Agnes Callamard mengatakan, aktivitas industri di Kongo telah menghancurkan kehidupan penduduk sekitar.

“Masyarakat Kongo mengalami eksploitasi dan pelecehan yang signifikan selama era kolonial dan pascakolonial. Hak-hak mereka masih dikorbankan saat kekayaan di sekitar mereka dirampas,” kata dia.

Seorang peraih penghargaan Women Building Peace 2023, Petronille Vaweka mengatakan, pertambangan di Kongo menimbulkan terjadinya perbudakan.

Dikutip dari United States Institute of Peace (7/3/2024), pertambangan industri itu mempekerjakan ratusan ribu pria, wanita, dan anak-anak.

Wilayah itu dijaga oleh lebih dari 250 kelompok bersenjata lokal dan 14 kelompok bersenjata asing yang siap bertempur.

Badan stabilisasi pemerintah setempat mengatakan, selama lebih dari 30 tahun, pertempuran telah menarik pasukan bersenjata dari Uganda, Rwanda, dan Burundi.

Puluhan ribu pasukan penjaga perdamaian PBB dan pasukan regional Afrika telah mencoba memulihkan ketertiban, serta membantu pemerintah membangun otoritas yang sebenarnya.

“Saya menangis karena pada saat ini, di Goma, sebuah kota berpenduduk 1 juta orang di perbatasan Rwanda dan Kongo, perempuan dan anak-anak sekarat dan ribuan keluarga dipaksa meninggalkan desa mereka,” kata dia.

Selama beberapa dekade, organisasi antikorupsi Global Witness, kelompok hak asasi manusia, dan komisi investigasi Kongo, juga telah mendokumentasikan tindak penyelundupan emas, tembaga, kobalt, atau mineral lainnya dari tambang ilegal untuk dijual ke pasar global.

Penyelundupan mineral itu selanjutnya digunakan untuk membiayai peperangan, sebagaimana diungkap oleh ahli investigasi PBB.

Selama perang saudara pada 1990-an, pasukan militer Uganda dan Rwanda memasuki Kongo timur dan mengambil alih tambang ilegal yang ada untuk mengalirkan keuntungan kembali ke negara asal mereka.

Terjadi sejak 1880-an

Sumber daya tembaga dan kobalt di Kongo sebagian besar diekstraksi untuk mengisi ulang baterai seiring dengan semakin berkembangnya energi bersih di dunia.

Kendati demikian konflik itu sudah terjadi sejak 1880-an yang merupakan warisan dari Raja Leopold II dari Belgia.

Saat itu, Leopold menggunakan kekerasan dan kekejaman untuk menciptakan koloni yang menguntungkan di antara ratusan komunitas etnis di seluruh lembah Sungai Kongo.

Ketika merdeka pada 1960, pertikaian antarfaksi dan kudeta menyebabkan kediktatoran selama 32 tahun yang didukung oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat selama Perang Dingin.

Kongo mencapai peralihan kekuasaan pertama yang damai dan dipilih secara demokratis pada 2019, dengan terpilihnya Presiden Felix Tshisekedi.

Ia telah menyatakan dukungannya terhadap reformasi antikorupsi, tetapi gagal memberikan kemajuan besar, menurut pendapat banyak analis.

Sumber: kompas.com, 19 November 2024

Temukan Informasi Terkini

Berita Harian, Jumat, 15 Agustus 2025

baca selengkapnya

Smelter Nikel Merdeka Copper (MDKA) Capai 42% Target Produksi per Semester I-2025

baca selengkapnya

Ekspor Batu Bara RI ke China Bangkit, Tapi B40 Buat Pengusaha Menjerit

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top