International Energy Agency (IEA) mendukung negara-negara pemilik mineral kritis, termasuk Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya membangun industri pengolahan dan melakukan hilirisasi untuk mendapatkan nilai tambah di dalam negeri.
Direktur Eksekutif IEA International Energy Agency (IEA), Fatih Birol menekankan agar negara-negara pemilik mineral kritis harus meninggalkan pendekatan “malas” dengan hanya menambang dan menjual bahan mentah.
Birol menjelaskan mineral kritis tidak hanya digunakan untuk teknologi energi seperti mobil listrik, panel surya, atau kincir angin, tetapi juga untuk industri manufaktur, chip, pertahanan, drone, dan banyak sektor lainnya.
Namun, saat ini, industri pengolahan dan pemurnian mineral kritis terkonsentrasi di sangat sedikit negara, dengan satu negara di Asia yang memegang peran sangat dominan. Situasi ini, menurutnya, menciptakan kerentanan dalam keamanan energi global.
“Oleh karena itu, negara-negara seperti Indonesia, atau beberapa negara lain di kawasan ini yang memiliki nikel, logam tanah jarang, kobalt, atau mineral penting lainnya, tidak hanya menambangnya, tetapi yang lebih penting, memurnikan dan memprosesnya,” katanya dalam sesi tanya jawab di sela Singapore International Energy Week (SIEW) 2025, Selasa (28/10/2025).
Menurutnya, apabila Indonesia hanya menjadi penambang saja, sama saja meneruskan paradigma “malas” dalam pengelolaan sumber daya alam yang melimpah.
Masa Depan Batu Bara
Menanggapi pertanyaan mengenai masa depan batu bara, Birol mengakui bahwa emas hitam masih menjadi sumber utama pembangkit listrik di banyak negara, termasuk di kawasan Asean yang permintaan listriknya diproyeksikan melonjak setara dengan tambahan 300 GW dalam 10 tahun ke depan.
“[Peningkatan] Konsumsi batu bara di negara-negara juga akan menjadi bagian dari solusi [untuk memenuhi permintaan listrik]. Dari sudut pandang lingkungan, ini bukan hal terbaik untuk dilakukan. Pemerintah perlu memiliki kebijakan yang cerdas,” katanya.
Dia menekankan pentingnya menemukan titik keseimbangan antara upaya menjamin keamanan pasokan listrik dan mempertimbangkan efek lingkungan akibat emisi yang ditimbulkan.
Transisi Energi yang Inklusif
Menyoroti transisi energi, Birol menekankan strategi menuju energi yang lebih aman, bersih, dan terjangkau adalah tujuan utama hal yang terpenting. Dia menyambut aspirasi banyak negara untuk memanfaatkan energi nuklir, baik pembangkit tradisional maupun Small Modular Reactors (SMR) yang sedang berkembang.
Namun, dia mengingatkan bahwa transisi energi tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan masyarakat melalui kenaikan harga energi yang memberatkan. “Transisi harus dirancang dengan baik dan memiliki dukungan dari masyarakat di negara tersebut sehingga dapat menyatukan semua orang,” ucapnya. Editor : David Eka Issetiabudi
