Emiten emas dengan eksposur penjualan ekspor terancam oleh rencana pemerintah yang segera memfinalisasi peraturan menteri keuangan (PMK) terkait pengenaan tarif bea keluar (BK) emas sebesar 7,5% hingga 15%.
Jenis emas yang akan dikenakan bea keluar adalah dore, granules, emas termasuk ingot atau cast bar, serta minted bars. Pemerintah menerapkan bea keluar emas untuk mendukung ketersediaan suplai emas dan memenuhi tujuan penciptaan nilai tambah (hilirisasi) serta pendalaman sektor keuangan (bullion bank).
Bebarapa emiten emas yang melakukan penjualan ekspor antara lain entitas tambang dan alat berat Grup Astra, PT United Tractors Tbk (UNTR), kemudian PT Merdeka Copper Tbk (MDKA), PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN), PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA), dan PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB).
Mengacu pada laporan keuangan masing-masing emiten yang berakhir pada 30 September 2025, United Tractors mencatatkan pendapatan penambangan emas dan mineral lainnya dari pihak ketiga sebesar Rp 10,31 triliun, atau mencerminkan 0,10% dari total pendapatan pendapatan bersih perseroan sebesar Rp 100,46 triliun.
Berdasarkan laporan keberlanjutan PT Agincourt Resources (PTAR) selaku entitas UNTR yang mengoperasikan Tambang Emas Martabe di Tapanuli SelatanF, Sumatra Utara, mencatat hasil berupa bullion bar dari Tambang Emas Martabe dimurnikan di fasilitas pemurnian di Jakarta untuk kemudian diekspor dan dijual.
“Pelanggan utama kami adalah bank-bank yang berada di Singapura,” tulis laporan keberlanjutan tersebut.
Sampai kuartal III-2025, UNTR telah menempatkan devisa hasil ekspor sebesar Rp 1,70 triliun ke dalam kas pada bank dan deposito berjangka sebagai wujud implementasi dari peraturan pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2025 dan PP Nomor 36 Tahun2023 untuk transaksi sebelum Maret 2025.
Sementara MDKA, meraup pendapatan dari hasil penualan ekspor emas, perak, dkk. sebesar US$ 225,18 juta atau merefleksikan 0,26% dari total pendapatan perseroan sebesar US$ 854 juta. Kemudian, HRTA mencatatkan penjualan ekspor sebesar Rp 107,45 miliar, mencerminkan 0,42% dari pendapatan bersih HRTA hingga kuartal III-2025 sebesar Rp 25,19 triliun.
Sedikit berbeda daripada UNTR, MDKA, dan HRTA, eksposur AMMN terhadap penjualan ekspor emas bersih dan murni cukup signifikan dengan total kontribusi mencapai US$ 156,64 juta, alias mewakili 28,70% dari total pendapatan perseroan sebesar US$ 545,33 juta.
Nasib PSAB lebih kontras lagi karena mayoritas pendapatannya berasal dari ekspor. Tercatat, PSAB menjual emas dan perak kepada Metalor Technologies Siangapore Pte Ltd sebesar US$ 209,92 juta, lalu Beijing Fuhalhua Impor and Export Corp Ltd sebesar US$ 11,65 juta, Kewasngsa Group Sdn Bhd—produsen perhiasan emas Malaysia—sebesar US$ 15,8 ribu.
Sebaliknya, PSAB kini tidak menjual baik emas maupun perak kepada pemain di pasar domestik seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Berbeda dengan periode sembilan bulan tahun lalu atau 9M24 di mana perseroan membukukan penjualan emas dan perak sebesar US$ 15,82 juta dari Antam.
Tekan Margin
Riset Pilarmas Investindo Sekuritas mencatat bahwa kebijakan bea ekspor emas yang berlaku mulai 2026 tersebut akan memberikan dampak yang beragam kepada emiten emas.
“Perseroan yang masih mengekspor produk setengah jadi kemungkian menghadapi tekanan margin karena kelompok produk ini dikenai tarif tertinggi terutama saat harga emas dunia naik melewat US$ 3.200 per troy ounce,” tulis broker tersebut dalam yang dipublikasi, Rabu (19/11/2025).
Apabila, merujuk pada hasil diskusi dengan seluruh kementerian/lembaga terkait telah dihasilkan bahwa besaran tarif bersifat progresif dengan menyesuaikan harga perkembangan emas.
Sebagai contoh, saat harga emas berada pada kisaran US$2.800 hingga di bawah US$3.200 per troy ounce maka bea keluar akan dikenakan dengan rentang antara 7,5% sampai 12,5%. Namun bila harga emas berada di atas US$ 3.200 per troy ounce maka tarif bea emas meningkat menjadi 10% hingga 15%.
Menurut Pilarmas, PMK terkait bea keluar emas tersebut dapat memaksa emiten untuk menyesuaikan strategi penjualan, melakukan hedging, atau bahkan mengalihkan sebagian output ke pasar domestik. Sebaliknya, emiten yang telah memiliki fasilitas hilirisasi berpotensi lebih diuntungkan karena bea keluar untuk produk jadi lebih rendah, sekaligus memperoleh nilai tambah yang lebih besar.
Bukan hanya itu, inisiatif pemerintah melalui PMK tersebut juga akan mendorong percepatan investasi refinery bagi emiten-emiten yang belum terintegrasi, sehingga belanja modal (capex) mereka berpotensi meningkat dalam jangka menengah.
“Dari sisi pasar saham, sentimen jangka pendek bisa negatif bagi produsen yang bergantung pada ekspor produk semi-refined. Sementara perusahaan yang siap hilirisasi bisa mendapatkan sentimen positif,” beber Pilarmas Investindo.
ANTM dan BRMS
Di sisi lain, Sekretaris Perusahaan Antam Wisnu Danandi Haryanto berterus terang bahwa kebijakan bea keluar ekspor emas yang sedang disiapkan pemerintah tidak berdampak signifikan bagi ANTM. Sebab, perseroan tidak melakukan ekspor emas, dan seluruh produksi emas batangan Logam Mulia 100% dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik.
“Dengan orientasi domestik yang kuat tersebut, struktur bisnis emas Antam relatif tidak terpengaruh oleh rencana penerapan bea keluar ekspor,” ujarnya saat dihubungi Investor Daily, Rabu (19/11/2025).
Wisnu menegaskan, Antam baik saat ini maupun ke depan bakal tetap fokus pada pemenuhan kebutuhan emas di pasar domestik, seiring dengan meningkatnya permintaan dari masyarakat dan berbagai sektor.
Kebijakan bea keluar ekspor justru menjadi momentum bagi ANTM untuk memperkuat rantai pasok dalam negeri. Karena itu, Antam pada prinsipnya terbuka untuk membeli dan menyerap lebih banyak emas hasil produksi dalam negeri dari para mitra maupun perusahaan tambang yang ingin memasok ke pasar domestik.
“Langkah ini selaras dengan upaya memperkuat ketahanan emas nasional, meningkatkan nilai tambah di Indonesia, sekaligus memastikan pasokan bagi konsumen tetap terjaga,” imbuh Wisnu.
Sama seperti Antam, emiten emas kongsi Grup Salim dan Bakrie, PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) menegaskan bahwa perseroan tidak akan terdampak oleh rencana pemerintah untuk memberlakukan bea keluar ekspor emas mulai tahun depan tersebut.
Pasalnya, 100% dari pendapatan perseroan dari bisnis emas dan perak yang dioperasikan anak usahanya, PT Citra Palu Minerals berasal dari penjualan di pasar domestik.
Berdasarkan laporan keuangan konsolidasian yang berakhir pada 30 September 2025, BRMS menjual produk emas dari CPM kepada pemain emas domestik seperti HRTA, lalu PT Simba Jaya Utama, PT Swarnim Murni Mulia, PT Pergadaian Galeri Dua Empat, dan PT Elang Abadi Sempurna.
Presiden Direktur BRMS Agus Projosasmito menyebut, saat ini BRMS melalui CPM menambang bijih dengan kandungan emas dan perak di Blok 1 (Poboya), Palu, Sulawesi Tengah dan mengoperasikan 2 fasilitas pemrosesan carbon in leach di lokasi tambang yang sama. Produk akhir yang dijual CPM kepada pembeli beruapa emas dan perak murni (bukan dore bullion).
“Dalam menjual produk emas dan peraknya, BRMS dan anak usahanya akan selalu berusaha untuk mengoptimalkan laba perusahaan dan menambah nilai bagi para pemegang saham,” tutup Agus dalam keterangan resminya dikutip, Rabu (19/11/2025). Editor: Muawwan Daelami
