Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM menemukan program mandatori B50 akan meningkatkan harga barang maupun jasa yang dihasilkan para pengguna sebesar 7%. Sebab, campuran bahan bakar yang dipilih pemerintah dalam memproduksi B50 akan mendorong biaya operasional distribusi hingga 30%.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi menyampaikan campuran B50 yang dipilih pemerintah adalah penggunaan CPO secara penuh. Menurutnya, bahan bakar tersebut akan meningkatkan biaya operasional hingga 30%. Eniya memperkirakan frekuensi penggantian filter bahan bakar pada truk yang menggunakan B50 naik dari 3 bulan sekali menjadi 2 bulan sekali.
“Sektor perkeretaapian, dan pertambangan mengatakan harga produk akhir mereka akan naik 7% jika menggunakan B50 karena biaya operasional akna naik 20% sampai 30%,” kata Eniya dalam Indonesia Palm Oil Conference 2025, Kamis (13/11).
Seperti diketahui, program mandatori B50 akan mewajibkan produsen Bahan Bakar Minyak atau BBM berjenis solar untuk mencampurkan hasil produksinya dengan 50% CPO. Namun Eniya menegaskan pemerintah hanya akan memberikan insentif kepada B50 dalam program Kewajiban Pelayanan Publik atau PSO. Dengan demikian, sebagian layanan perkeretaapian dan pertambangan akan menikmati harga B50 sesuai harga pasar.
Untuk diketahui, PT Pertamina menetapkan harga biosolar yang digunakkan pada program PSO senilai Rp 6.800 per liter pada bulan ini. Sementara itu, Pertamina menjual B40 tanpa subsidi dengan merek Dexlite dengan harga Rp 13.900 sampai Rp 14.200 per liter.
“Pemerintah akan tetap melepas harga B50 ke pasar untuk sektor yang tidak mendapatkan subsidi pemerintah, sebab pasar sudah menerima harga biosolar non-subsidi pada program mandatori B40,” ujarnya.
Pelaku Industri Minta B50 Dikaji Ulang
Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) meminta pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan mandatory atau kewajiban penggunaan BBM biodiesel 50% atau B50. Kebijakan ini rencananya mulai diterapkan pada 2026.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal APBI-ICMA Haryanto Damanik mengatakan hal ini berkaitan dengan tambahan biaya produksi yang ditanggung perusahaan pertambangan (cost production) jika kebijakan diterapkan.
“Dengan penerapan B40 saat ini perusahaan harus menanggung pengeluaran US$ 1-2 dolar lebih tinggi untuk bahan bakar, apalagi sekarang pemerintah mencanangkan penerapan B50. Meskipun tidak diterapkan untuk seluruh sektor industri tapi ini menjadi tantangan besar bagi kami di tengah kondisi pasar saat ini,” kata Haryanto dalam Coalindo Coal Conference 2025, Rabu (6/11).
Dia menyebut pasar batu bara saat ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan kondisi pasca-covid dimana harganya melambung tinggi dan tergolong anomali. Selain menyebabkan adanya tambahan biaya produksi, hal ini juga secara dampak panjang berpotensi menurunkan keuntungan margin yang didapatkan perusahaan.
“Sehingga berdampak terhadap penerimaan pajak bagi negara, termasuk dari sisi PPH badannya,” ujarnya. Editor: Tia Dwitiani Komalasari
