Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa rencana pemerintah untuk melakukan pembinaan terhadap pertambangan tanpa izin (PETI) alias tambang ilegal tidak bisa dilakukan secara sederhana, apalagi dengan pendekatan legalisasi langsung.
Hal ini merespons rencana pemerintah melalui Kemenko Perekonomian untuk membina pertambangan ilegal yang selama ini marak terjadi di Tanah Air. Terlebih, tambang emas ilegal dapat menghasilkan hingga 200 ton per tahun.
Menurut Kemenko Perekonomian, skema membina tambang ilegal itu bisa mencontoh pada yang terjadi pada sumur minyak dan gas bumi (migas). Melalui, Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 14 Tahun 2025, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dapat melakukan kerja sama pengolahan bagian wilayah kerja (WK), tata kelola, keamanan sosial, dan perlindungan investasi demi memberdayakan sumur ilegal itu.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian ESDM Rilke Jeffri Huwae menuturkan, meskipun wacana penataan dan pembinaan PETI kerap muncul sebagai harapan berbagai pihak, langkah tersebut harus ditopang oleh dasar regulasi dan filosofi kebijakan yang kuat.
Menurutnya, sektor pertambangan berada di bawah kewenangan Kementerian ESDM sebagai leading sector sehingga setiap penataan harus melalui kajian yang komprehensif. Jeffri pun mengamini pembahasan mengenai penataan tambang ilegal juga masih dikaji oleh Kementerian ESDM.
“Di Kementerian juga dilakukan seperti itu dan ini sudah berlangsung. Cuma seperti apa nanti penataan, itu kan harus dengan regulasi. Jadi dasar filosofinya mesti kuat,” tutur Jeffri di Jakarta, Senin (15/12/2025).
Dia lantas membandingkan rencana pembinaan PETI dengan kebijakan Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2025 yang selama ini kerap dijadikan rujukan. Jeffri menegaskan bahwa kedua isu tersebut memiliki karakter yang sangat berbeda.
Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2025, kata dia, mengatur pengelolaan sumur-sumur minyak lama dan idle yang sudah ada sejak lama dan bersifat existing sehingga memiliki basis historis dan teknis yang jelas.
Sementara itu, PETI bersifat dinamis dan bisa muncul kapan saja. Oleh karena itu, Kementerian ESDM membuka peluang pendekatan lain di luar legalisasi. Salah satunya adalah melalui skema kemitraan.
Pendekatan ini dinilai lebih realistis untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat di sekitar wilayah tambang agar tetap memperoleh manfaat ekonomi, tetapi tetap berada dalam koridor aturan.
“Bukan persoalan dengan melegalkan, tapi membangun kemitraan. Membangun kemitraan supaya masyarakat sekitar tambang yang ingin menikmati sumber daya alam itu bisa kita akomodasi dalam aturan. Dalam aturan-aturan main,” tutur Jeffri.
Kendati demikian, dia menegaskan bahwa rencana itu masih dalam tahap kajian. Karena itu, Jeffri belum bisa memastikan apakah aturan mengenai pembinaan PETI itu bisa rampung tahun depan atau tidak.
“Sekarang ini tetap kita mengupayakan optimal. Optimalnya apa? Jadi penanganan lewat penindakan tetapi juga sekaligus dengan kemitraan untuk mendorong supaya masyarakat seputar tambang itu juga memperoleh nilai ekonomi dari tambang,” jelasnya.
Sebelumnya, Asisten Deputi Bidang Pengembangan Mineral dan Batu bara Kemenko Perekonomian Herry Permana menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba) disebutkan bahwa jika ditemukan tambang rakyat yang belum memiliki izin pertambangan rakyat (IPR), maka menjadi prioritas.
Menurutnya, pembinaan tambang rakyat ilegal menjadi penting. Sebab, di satu sisi, tambang ilegal itu menjadi lapangan kerja pada masyarakat sekitar. Oleh karena itu, jika tambang ilegal itu langsung diberantas, maka lapangan masyarakat juga terenggut.
“Karena ini menyangkut rakyat, kalau untuk rakyat kan luasan IPR itu hanya 10 hektare maksimum, itu pun untuk koperasi. Kalau perorangan 5 hektare,” kata Herry dalam acara Bisnis Indonesia Forum di Jakarta, Rabu (10/12/2025).
Dia juga mencontohkan, jika negara mampu membina tambang emas ilegal saja, hasilnya cukup signifikan. Menurutnya, emas yang dihasilkan dari tambang ilegal sebesar 100 ton per tahun bisa menjadi milik negara.
Karena itu, pihaknya bersama kementerian/lembaga terkait tengah menyusun Peraturan Presiden (Perpres) terkait pengelolaan mineral kritis dan strategis.
“Oleh karena itu, tata kelola ini harus kita desain dengan baik. Saat ini, kami sedang menyusun Perpres terkait tata kelola mineral kritis dan strategis,” jelas Herry.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Koordinasi Energi dan Sumber Daya Mineral Kemenko Ekonomi Elen Setiadi menjelaskan, pihaknya bakal menggandeng kementerian/lembaga terkait untuk membahas aturan mengenai pengelolaan mineral kritis dan strategis tersebut.
Menurutnya, aturan itu juga harus mampu mengintegrasikan sistem pada Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertahanan, Kementerian Investasi dan Hilirisasi, hingga Kementerian Hukum.
Dia menambahkan bahwa pembinaan tambang ilegal juga mampu melindungi pekerjaan masyarakat yang terlibat. Selain itu, penerimaan negara juga bakal terdongkrak.
“Jadi, kalau ini berjalan dengan baik, pasti penerimaan ini berjalan dengan baik, masyarakat tadi pasti otomatis akan terbawa,” katanya. Editor : Denis Riantiza Meilanova
