Filipina Ingin Hilirisasi Nikel, Penambang RI Sebut ‘Sudah Telat’

ASOSIASI Penambang Nikel Indonesia (APNI) menilai keinginan Filipina untuk memulai hilirisasi nikel dengan melarang ekspor mineral bijih sudah terlambat untuk bisa menyaingi Indonesia.

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin mengatakan wacana Filipina untuk melarang ekspor mineral bijih —termasuk nikel— tidak akan berpengaruh terhadap Indonesia, meski selama ini banyak smelter pirometalurgi di Tanah Air yang masih mengimpor bijih dari Filipina.

“Ya intinya, masih banyak negara lain dong, bukan hanya dia [Filipina]. Cuma kan kalau Filipina mau export ban, dia mau ngapain? Karena kalau dia mau bikin downstream kayak Indonesia, telat,” ujar Meidy ditemui di sela agenda Energi dan Mineral Forum 2025, dikutip Selasa (27/5/2025). 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, volume impor bijih nikel dan konsentrat (ore nickel and concentrates) dengan kode HS 26040000 dari Filipina pada Februari 2025 sebanyak 2,38 juta ton. Angka ini naik dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebanyak 2,07 juta ton.

Produsen nikel terbesar di dunia./dok. Bloomberg

Selain itu, menurut International Energy Agency (IEA), tiga produsen nikel terbesar pada 2030 dari sisi pertambangan a.l. Indonesia (62%), Filipina (8%), dan New Caledonia (6%). Dari sisi smelter a.l. Indonesia (44%), China (21%) dan Jepang (6%).

Menurut Meidy, Filipina baru berpotensi menjadi ‘ancaman’ bagi hilirisasi nikel di Indonesia apabila kebijakan larangan ekspor bijih di negara tersebut diberlakukan 10 tahun lalu sebelum Indonesia menggalakkan program serupa.

Indonesia menerapkan larangan ekspor bijih logam sejak 2020 dan meningkatkan nilai ekspor nikelnya dari US$3 miliar menjadi US$30 miliar dalam dua tahun karena perusahaan-perusahaan China membangun smelter di negara ini.

“Akan tetapi, kalau baru tahun ini [Filipina memulai larangan ekspor bijih], sudah telat banget, bahkan sudah habis. Terus investor yang bangun smelter juga, mungkin investornya sudah habis. Ya kan diserap kita semua,” ujarnya.

Di samping itu, Meidy mempertanyakan kesiapan infrastruktur dan kecukupan energi Filipina dalam mengebut proyek hilirisasi nikel di dalam negerinya.

“Belum kalau investasi di [Provinsi] Tawi-Tawi, Filipina. Saya lihat di Tawi-Tawi, wow. Mau loading satu vessel saja, perlu angkatan bersenjata yang komplit. Tidak seaman di Indonesia.” 

Smelter Terimbas

Bagaimanapun, Meidy tidak menampik rencana hilirisasi nikel Filipina sedikit banyak tetap kana membawa pengaruh ke industri smelter di Indonesia.

Akan tetapi, dia meyakini industri pengolahan nikel di dalam negeri tidak akan sampai gulung tikar jika tidak bisa membeli tambahan bijih mentah dari Filipina.

Penyebabnya, terang Meidy, masih banyak areal potensial sumber daya nikel di Tanah Air yang belum tereksplorasi dan tereksploitasi, seperti di Papua.

Dia pun tidak mengkhawatirkan ihwal potensi persaingan dengan Flipina dalam mencari investor penghiliran nikel. “Enggak, enggak. Tidak terpengaruh dari kita ya.”

Lain sisi, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar mengatakan rencana Filipina memulai hilirisasi nikel dapat menjadi motivasi bagi Indonesia untuk makin memperkuat posisi sebagai pemasok nikel olahan di pasar global.

“Indonesia sudah terlebih dahulu menyetop ekspor ore nikel serta membangun smelter, dan saat ini baru diikuti oleh Filipina. Maka, Indonesia akan lebih unggul dalam hilirisasi,” ujarnya saat dihubungi.

Jika Filipina jadi meratifikasi rancangan undang-undang (RUU) pelarangan ekspor mineral bijih pada Juni 2025, kata Bisman, negara tersebut akan mengalami peralihan kebutuhan nikel olahan menjadi berorientasi domestik.

Dengan demikian, pasokan bijih nikel dari Filipina di pasar global akan menyusut, sehingga harga komoditas mineral logam baterai tersebut diharapkan dapat terkerek.

“Jadi ini akan berpengaruh pada harga nikel, karena jika Filipina stop ekspor bijih, maka suplai nikel secara global berkurang, sehingga harga potensial naik. Terlebih, volume produksi nikel Filipina cukup signifikan,” terangnya.

Nikel diperdagangkan di US$15.594/ton pagi ini di London Metal Exchange (LME), menguat 0,65% dari hari sebelumnya.

Harga nikel sepanjang tahun lalu menyentuh rekor terendah dalam empat tahun terakhir setelah sebelumnya diproyeksikan mencapai US$18.000/ton, turun dari perkiraan sebelumnya di level US$20.000/ton, menurut lengan riset dari Fitch Solutions Company, BMI.

Untuk diketahui, Filipina berencana meratifikasi RUU pelarangan mineral bijih paling lambat Juni tahun ini. RUU tersebut bertujuan untuk melarang ekspor bijih mentah dalam upaya Filipina meningkatkan industri pertambangan hilir.

Adapun, seandainya RUU disetujui, pemberlakuan larangan ekspor bijih mineral kemungkinan akan lima tahun setelah undang-undang ditandatangani, guna memberi waktu kepada para penambang untuk membangun pabrik pemrosesan.

“Jika ini dilakukan, saya yakin ini akan menjadi game changer bagi negara kita jika kita akhirnya akan memiliki pemrosesan di sini,” kata Presiden Senat Francis Escudero awal Februari, dikutip Bloomberg.

Bukan kali pertama Filipina berupaya melarang ekspor mineral bijih. Pada 2014 dan 2016, Kongres pernah menyuarakan wacana tersebut, tetapi gagal karena minimnya dukungan.

Pemerintah Filipina telah mendorong para penambang untuk berinvestasi dalam fasilitas pemrosesan alih-alih hanya mengirimkan bijih mentah, dengan harapan dapat meniru keberhasilan pemasok nikel No. 1 dunia, Indonesia, dalam meningkatkan pendapatan pertambangan. (wdh)

Sumber: https://www.bloombergtechnoz.com, 27 Mei 2025

Temukan Informasi Terkini

Laba Sepanjang 2024 Naik 46%, Ini Daftar Program Prioritas MIND ID Sepanjang 2025

baca selengkapnya

Selangkah Lagi UKM Dapat Jatah Tambang, Siapa yang Layak?

baca selengkapnya

PT Gag Nikel Masih Belum Beroperasi di Raja Ampat Meski Tidak Dicabut Izinnya

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top