FINI Beberkan Fakta Impor Bijih Nikel dari Filipina

Di tengah ambisi besar menjadikan Indonesia sebagai pusat industri baterai listrik dan superpower nikel dunia, Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) mengungkap sebuah ironi yang mengusik: Indonesia, negara dengan 45% cadangan nikel global, justru terpaksa mengimpor bijih nikel dari Filipina.

Ketua Umum FINI Arif Perdana Kusumah menyebut kondisi ini sebagai alarm penting bagi keberlanjutan hilirisasi nasional. Padahal, dengan cadangan mencapai 55 juta ton logam nikel, terbesar di dunia, Indonesia secara teori seharusnya menjadi negara paling aman dari sisi pasokan bahan baku.

Data terbaru FINI menunjukkan, Indonesia mengimpor sekitar 10,4 juta ton bijih nikel dari Filipina pada 2024. Angkanya bahkan diproyeksikan meningkat menjadi sekitar 15 juta ton pada 2025, setara nilai hampir US$ 600 juta.

“Yang membuat ironi ini kian mencolok adalah fakta bahwa Filipina hanya memiliki cadangan nikel sebesar 4,8 juta ton, sekitar 4% cadangan global, atau sepersepuluh dari cadangan Indonesia,” ungkap Arif dalam keterangan pers, Jumat (21/11/2025).

Menurut FINI, impor dilakukan karena dua penyebab utama: keterbatasan pasokan domestik dan kebutuhan blending untuk menyesuaikan rasio Si:Mg dalam proses smelter. “Ini ironi besar. Negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia justru harus mengandalkan pasokan dari negara dengan cadangan yang jauh lebih kecil,” tegas Arif.

Arif menegaskan, FINI menilai masalah ini muncul karena ketidakseimbangan antara agresivitas pembangunan smelter dan kapasitas produksi tambang. Hilirisasi nikel merupakan ekosistem yang bergantung pada keselarasan antara tambang, smelter, pasar, serta kebijakan pemerintah. “Namun titik terlemah saat ini justru berada di hulu, pasokan bijih tidak mengikuti kecepatan pertumbuhan smelter,” tegasnya.

Menurutnya, Indonesia saat ini memiliki ratusan smelter pirometalurgi dan hidrometalurgi yang membutuhkan pasokan kontinu. Kapasitas produksi smelter melonjak drastis dalam satu dekade terakhir, dari 250 ribu ton nikel kelas dua pada 2017 menjadi lebih dari 1,8 juta ton pada 2024, ditambah 395 ribu ton nikel kelas satu.

“Ekosistem hilirisasi nikel adalah sistem yang kompleks. Ketika ratusan smelter terus bertambah, tetapi perencanaan tambang justru dipersingkat, potensi supply shock semakin nyata,” ujar Arif.

Kebijakan RKAB

Tidak hanya itu, lanjut Arif, FINI juga menyoroti kebijakan pemerintah yang mengubah masa berlaku Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari tiga tahun menjadi satu tahun. Kebijakan ini, menurut Arif, membuat perencanaan tambang menjadi kian sulit karena industri membutuhkan kepastian jangka panjang untuk menjaga stabilitas pasokan.

Dengan kebutuhan smelter yang melonjak dan waktu perencanaan tambang yang lebih pendek, potensi ketidakseimbangan produksi semakin besar. “Perubahan masa berlaku RKAB menjadi satu tahun menciptakan tantangan serius dalam menjaga kesinambungan pasokan. Industri butuh kepastian,” ujar Arif.

Tekanan pasokan yang terus berlanjut berpotensi menimbulkan sejumlah risiko besar bagi industri nikel nasional, mulai dari kenaikan biaya produksi hingga ancaman penghentian operasi smelter.

FINI memperingatkan, dampak berantai dapat terjadi, yaitu investasi menjadi ragu akibat kebijakan yang tidak stabil, harga bijih melonjak, pembangunan industri baterai dan kendaraan listrik terganggu hingga risiko macet pada pembiayaan. Momentum emas hilirisasi Indonesia disebut bisa terancam jika fondasi pasokan tidak segera diperkuat.

Meski demikian, Arif menilai Indonesia sudah berada pada arah hilirisasi yang tepat. Namun strategi besar membutuhkan fondasi hulu yang kokoh. FINI mendorong pemerintah memperkuat eksplorasi, meningkatkan kepatuhan teknis penambangan, serta memprioritaskan RKAB bagi tambang yang terafiliasi atau terintegrasi dengan smelter.

“Ambisi besar Indonesia hanya bisa diwujudkan jika satu hal dipastikan: bahan baku untuk industri nasional tidak boleh langka di negeri yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia,” pungkas Arif. Editor: Indah Handayani

Sumber:

– 21/11/2025

Temukan Informasi Terkini

Penjualan Freeport Drop, Setoran ke Negara Tetap Ditarget Rp70 T

baca selengkapnya

ESDM Hitung Formulasi Bea Keluar untuk Komoditas Minerba dan Emas

baca selengkapnya

Petrosea Tuntaskan Akuisisi 60% Saham Scan-Bilt Pte.Ltd

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top