Emiten Grup Merdeka yang terdiri dari PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) dan PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) melakukan aksi korporasi. MDKA beraksi dengan melunasi obligasi, sedangkan MBMA mengucurkan pinjaman jumbo kepada perusahaan terkendalinya, PT Merdeka Tsingshan Indonesia (MTI).
Sekretaris Perusahaan MDKA, Jessica J. Mengumumkan bahwa MDKA sudah menyetorkan dana ke PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) pada 28 Agustus 2025 untuk melunasi obligasi yang jatuh tempo pada 1 September 2025. Rinciannya terdiri dari pokok obligasi sebesar Rp 1,72 triliun dan bunga kedua belas obligasi sebesar Rp 35,66 miliar.
“Jumlah pelunasan pokok dan pembayaran bunga kedua belas obligasi adalah sebesar Rp 1,76 triliun,” jelas Jessica dalam penjelasan resminya kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) dikutip, Selasa (2/9/2025).
Menurut Jessica, dana yang digunakan MDKA untuk melunasi pokok dan membayar bunga tersebut bersumber dari kas internal perusahaan. “Dengan dilakukan pelunasan atas pokok dan pembayaran bunga kedua belas obligasi tersebut, maka seluruh kewajiban perseroan atas obligasi telah berakhir. Selanjutnya, tidak ada dampak material lain atas pelunasan pokok dan bunga kedua belas obligasi terhadap kegiatan operasional, hukum, kondisi keuangan, atau kelangsungan usaha perseroan,” terang Jessica.
Atas aksi tersebut, PT Pemeringkat Efek Indonesia alias Pefindo pun menyematkan peringkat idA+. Namun, belakangan pemegang mayoritas MDKA yakni PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) justru menjual sebanyak 211.103.896 saham biasa MDKA di harga Rp 1.925 per saham pada 26 Agustus 2025 dengan meraup dana sejumlah Rp 406,37 miliar.
Bersamaan dengan pengumuman MDKA melunasi obligasi jatuh tempo, anak usahanya yaitu MBMA juga beraksi dengan memberikan pinjaman sebesar Rp 1,78 triliun kepada MTI untuk mendukung pengembangan bisnis kimia dasar anorganik. MBMA telah menandatangani akad mudharabah dengan MTI sebagai mudharib atau penerima pinjaman.
MTI merupakan perusahaan patungan (joint vemture/JV) antara MBMA yang mengendalikan 80% saham dan PT Batutua Pelita Investama (BPI) yang memegang sebanyak 20% saham. Dana tersebut akan digunakan MTI untuk menggantikan sebagian fasilitas pinjaman sebelumnya, termasuk kebutuhan belanja modal (capital expenditure/capex), biaya konstruksi, dan biaya operasional proyek.
“Langkah ini merupakan bagian dari strategi penguatan struktur pendanaan sekaligus mendukung kelancaran operasional dan pengembangan bisnis MTI dalam industri hilirisasi mineral,” tulis manajemen MBMA, Selasa (2/9/2025).
Laba Bersih
Sepanjang kuartal pertama 2025, emiten nikel dengan kode saham MBMA tersebut mencatat penurunan pendapatan dan laba bersih. Di mana, MBMA membukukan pendapatan sebesar US$ 366 juta atau turun 18% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar US$ 444,22 juta. Penurunan ini turut menekan laba bersih perseroan sebesar 39% menjadi US$ 6 juta dari US$ 10,14 juta pada kuartal I-2024.
Meski demikian, laba usaha MBMA justru mengalami kenaikan sebesar 10,01% menjadi US$ 11,53 juta, seiring dengan beban pokok pendapatan yang turun signifikan menjadi US$ 347,23 juta dari US$ 426,35 juta. EBITDA tercatat naik 17% menjadi US$ 31 juta, yang menunjukkan adanya efisiensi biaya. Total aset perseroan mencapai US$ 3,43 miliar dengan ekuitas US$ 2,35 miliar dan liabilitas US$ 1,07 miliar hingga kuartal I 2025.
Presiden Direktur MBMA Teddy Oetomo mengatakan, kinerja kuartal I 2025 ditopang oleh peningkatan produksi tambang nikel Sulawesi Cahaya Mineral (SCM). Tambang tersebut memproduksi 1,8 juta wet metric ton (wmt) limonit atau naik 54% year-on-year (yoy), serta 1,3 juta wmt saprolit atau melonjak 190% YoY. “MBMA mencatat kinerja operasional yang kuat pada kuartal I 2025 berkat pertumbuhan signifikan di Tambang SCM, efisiensi biaya yang meningkat, dan peningkatan margin NPI, meskipun menghadapi tantangan musiman dan aktivitas pemeliharaan,” ujar Teddy.
Sementara itu, pabrik peleburan Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) memproduksi sebanyak 16.297 ton Nickel Pig Iron (NPI) pada kuartal I-2025, turun 22% yoy. Penurunan tersebut dipengaruhi oleh perbaikan tungku di PT Bukit Smelter Indonesia (BSI) pada kuartal IV 2024 dan pemeliharaan terjadwal di PT Zhao Hui Nickel (ZHN) yang sempat terhenti akibat banjir. Teddy mengungkapkan bahwa perbaikan tersebut telah meningkatkan keselamatan dan efisiensi operasional yang akan mendukung pengurangan biaya ke depan. “Kami tetap fokus pada efisiensi operasional dan pengelolaan biaya yang disiplin untuk mendorong pertumbuhan berkelanjutan,” imbuhnya. Editor: Muawwan Daelami