Apakah pemangkasan produksi nikel dan batu bara akan benar-benar mengangkat harga, atau justru menjadi sinyal krisis baru bagi industri pertambangan nasional?
Ketika pemerintah memutuskan memangkas RKAB 2026, siapa yang paling terdampak: negara, korporasi tambang, atau pasar global yang kini kelebihan pasokan?
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan akan memangkas target produksi nikel dan batu bara mulai 2026 dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).
Kebijakan ini dikonfirmasi langsung oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebagai respons atas tekanan harga akibat kelebihan pasokan global.
Oversupply Global Tekan Harga Komoditas Tambang Nasional
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan dominasi produksi Indonesia justru menjadi faktor utama anjloknya harga batu bara dan nikel di pasar internasional.
Indonesia saat ini memasok sekitar 500–600 juta ton batu bara atau hampir 50 persen perdagangan global dari total sekitar 1,3 miliar ton.
Kondisi serupa terjadi pada komoditas nikel, di mana lonjakan produksi nasional memicu tekanan harga berkelanjutan di bursa global.
Pemerintah menilai intervensi produksi menjadi langkah korektif untuk menyeimbangkan pasar dan menjaga penerimaan negara.
RKAB 2026 Jadi Instrumen Pengetatan Produksi
Dalam proyeksi awal RKAB 2026, target produksi bijih nikel diperkirakan ditekan ke kisaran 250 juta ton dari sebelumnya menembus 300 juta ton.
Sementara itu, produksi batu bara diproyeksikan berada di bawah 700 juta ton, lebih rendah dibanding realisasi beberapa tahun terakhir.
Bahlil menegaskan RKAB bukan sekadar dokumen administratif, melainkan instrumen pengendali produksi dan kepatuhan lingkungan korporasi tambang.
Korporasi yang melanggar ketentuan produksi atau reklamasi berpotensi dievaluasi hingga pencabutan izin.
Narasi Keberlanjutan dan Kepentingan Generasi Mendatang
Selain stabilisasi harga, pemerintah menekankan pentingnya konservasi sumber daya mineral untuk kepentingan jangka panjang.
Bahlil menyebut cadangan minerba tidak rasional dikuras ketika harga global sedang rendah dan nilai tambah belum optimal.
Kebijakan ini dinilai sejalan dengan agenda hilirisasi nasional dan efisiensi pemanfaatan sumber daya alam.
Namun, sejumlah pelaku industri menilai pembatasan produksi berpotensi menekan pendapatan jangka pendek korporasi tambang.
Dampak Langsung Bagi Pasar Dan Investor
Analis komoditas menilai pemangkasan produksi berpotensi mengerek harga batu bara dan nikel dalam jangka menengah.
Namun, volume penjualan yang menurun dapat memengaruhi kinerja keuangan korporasi tambang, khususnya yang berorientasi ekspor.
Dalam keterangan resmi di laman Kementerian ESDM, pemerintah menegaskan kebijakan ini bersifat adaptif dan dapat disesuaikan dengan dinamika pasar global.
“Kami ingin harga sehat, industri berkelanjutan, dan penerimaan negara tetap terjaga,” ujar Bahlil di situs resmi Kementerian ESDM.
