Tembaga mencetak rekor baru dan mendekati US$12.000 per ton di penghujung tahun yang penuh gejolak, ditandai oleh kekacauan perdagangan global, pasokan yang ketat, serta optimisme terhadap permintaan jangka panjang.
Dengan hanya tersisa beberapa hari perdagangan di London Metal Exchange sebelum akhir tahun, tembaga berada di jalur untuk mencatatkan kenaikan tahunan terbesar sejak 2009.
Logam yang krusial bagi transisi energi ini terus menguat dalam beberapa bulan terakhir seiring meningkatnya kekhawatiran terhadap pengetatan pasokan global.
Pendorong langsungnya adalah lonjakan pengiriman logam ke Amerika Serikat yang bertujuan mengantisipasi potensi tarif impor yang berisiko membuat wilayah lain di dunia kekurangan pasokan.
Namun, kenaikan sebesar 36% sepanjang tahun ini juga didorong oleh gangguan tambang yang tidak terencana serta meningkatnya perhatian terhadap penggunaan tembaga dalam infrastruktur kecerdasan buatan.
Dalam tanda jelas meningkatnya tekanan pasokan, perundingan sulit terkait kontrak pasokan bijih tahunan menghasilkan kesepakatan di mana peleburan atau smelter hanya menerima biaya pengolahan sebesar nol dolar per ton yang terendah sepanjang sejarah.
Prospek bullish untuk 2026 pun sudah banyak bermunculan. Citigroup Inc. menyatakan harga tembaga berpotensi mencapai US$13.000 per ton pada kuartal kedua, seiring perlombaan untuk mengirim logam ke pasar AS.
Goldman Sachs Group Inc. pekan lalu juga menempatkan tembaga sebagai logam favoritnya untuk tahun mendatang.
Harga tembaga naik 0,7% menjadi US$11.966,50 per ton pada pukul 11.56 waktu Shanghai. Aluminium, seng, dan nikel juga turut menguat. (bbn)
