Harga tembaga dunia melonjak mencetak rekor baru seiring lonjakan penarikan logam dari gudang London Metal Exchange (LME) yang memicu kekhawatiran pengetatan pasokan global akibat potensi tarif impor Amerika Serikat (AS). Reli harga yang terjadi sepanjang beberapa pekan terakhir didorong oleh kombinasi faktor fundamental dan dinamika perdagangan global yang semakin kompleks.
Mengutip Bloomberg, Kamis (4/12/2025), harga berjangka tembaga di London sempat menyentuh US$11.500 per ton sebelum koreksi tipis ke US$11.145 per ton. Level tersebut melampaui rekor tertinggi sebelumnya yang dicapai pada Senin (1/12/2025).
Lonjakan harga disertai meningkatnya permintaan penarikan tembaga dari depot LME di Asia, yang mengindikasikan pengetatan pasokan dalam jangka pendek.
Kenaikan harga tembaga turut mendorong saham-saham sektor tambang menguat. Produsen tembaga asal Chile, Antofagasta Plc, tercatat melonjak lebih dari 5% hingga menembus rekor tertinggi sepanjang masa.
Selama tahun berjalan, harga acuan tembaga di LME telah naik lebih dari 30 persen. Kenaikan ini terjadi di tengah gangguan produksi di sejumlah negara produsen utama, termasuk Chile dan Indonesia, serta meningkatnya pengiriman logam ke AS sebagai antisipasi kebijakan tarif impor.
Di pasar AS, kontrak berjangka bahkan mencatatkan reli yang lebih kuat seiring spekulasi bahwa Presiden AS Donald Trump akan mengumumkan tarif atas tembaga primer pada akhir tahun depan.
Helen Amos, analis komoditas BMO Capital Markets, menilai kenaikan harga didorong oleh kuatnya faktor fundamental di tengah risiko penurunan produksi. “Namun, terdapat pula arbitrase harga antara AS dan wilayah lain. Faktor inilah yang saat ini menjadi pendorong dominan kenaikan harga,” ujarnya.
Rencana pengenaan tarif oleh Trump, yang pertama kali diumumkan pada Februari lalu, sempat mengguncang industri global dan mendorong impor tembaga AS ke rekor tertinggi. Pada akhir Juli, kebijakan tersebut direvisi sehingga hanya berlaku untuk produk bernilai tambah, sementara penerapan bea masuk untuk tembaga komoditas ditinjau kembali hingga 2027.
Perubahan kebijakan itu berdampak langsung pada pasar fisik. Para pedagang kembali meningkatkan pengiriman ke pelabuhan AS mengikuti reli harga kontrak tembaga di negara tersebut. Produsen global kemudian mengumumkan premi penjualan tertinggi sepanjang sejarah untuk pasokan ke Eropa dan Asia pada 2026, sebagai kompensasi atas potensi keuntungan lebih besar jika komoditas dialihkan ke pasar AS.
Mercuria Energy Group Ltd. pekan lalu memperingatkan bahwa dinamika itu berpotensi memicu krisis pasokan global mulai kuartal I/2026. Lembaga tersebut juga memperkirakan harga tembaga dapat terus bergerak ke level yang belum pernah dicapai sebelumnya.
Dan Ghali, Senior Commodity Strategist TD Securities, menilai ancaman tarif akan menjadi faktor penentu di pasar tembaga pada paruh pertama 2026. Menurut dia, struktur pasar saat ini menciptakan insentif bagi pelaku untuk menarik logam dari stok global selama berbulan-bulan, sehingga pasokan cenderung dialihkan ke AS.
Sebagian besar tembaga yang tersimpan di jaringan gudang LME berasal dari China—yang telah dikenai tarif impor AS—dan Rusia yang dilarang masuk ke pasar AS. Walaupun demikian, stok tersebut masih dapat diserap pasar Asia sehingga pasokan dari produsen lain, seperti Chile dan Jepang, berpotensi dialihkan ke AS.
Dari sisi produksi, pasar tembaga juga menghadapi tekanan akibat gangguan tambang di berbagai wilayah. Ivanhoe Mines Ltd. memangkas proyeksi produksi kompleks Kamoa-Kakula di Republik Demokratik Kongo setelah pemulihan pascabanjir berjalan lambat. Sementara itu, Glencore Plc mencatat penurunan produksi sekitar 40 persen sejak 2018 dan kembali menurunkan target tahun depan.
Kekhawatiran pasokan tetap berlanjut meskipun permintaan global menunjukkan pelemahan. Analis Goldman Sachs, Aurelia Waltham dan Eoin Dinsmore, memperkirakan pasar tembaga tahun ini mengalami surplus sekitar 500.000 ton, terutama akibat penurunan permintaan China dalam beberapa bulan terakhir. Namun, surplus tersebut seluruhnya terserap pasar AS, sementara wilayah lain menghadapi kondisi pasokan yang semakin ketat. Editor : Anggara Pernando
