Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan sejumlah tantangan tata kelola industri pertambangan nasional, khususnya nikel.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM Cecep Mochammad Yasin menuturkan, sejatinya saat ini Indonesia memiliki momentum penting untuk mengukuhkan arah kebijakan hilirisasi dan memperkuat ketahanan energi nasional.
Apalagi, Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Meski demikian, Cecep menekankan bahwa pengelolaan sumber daya tersebut tidak lepas dari sejumlah tantangan, baik dari sisi tata kelola, harga komoditas, maupun efisiensi industri.
Menurutnya, industri nikel nasional memang tumbuh ekspansif dengan pembangunan sejumlah smelter baru dan peningkatan produksi dari berbagai produk turunan seperti nickel pig iron (NPI) dan nickel-based cathode (NFC).
Namun, pertumbuhan tersebut juga menimbulkan persoalan baru berupa potensi oversuplai dan tekanan harga di pasar global. Cecep mengatakan, saat ini rata-rata harga nikel turun ke level US$15.000 per ton. Angka tersebut anjlok sekitar 40% dibandingkan 7 tahun lalu.
“Beberapa hal yang menjadi tantangan adalah harga nikel itu sendiri yang saat ini tertekan di kisaran US$15.000 per ton. Ini salah satu sinyal adanya kelebihan pasokan,” katanya dalam Bisnis Indonesia Forum di Jakarta, Kamis (6/11/2025).
Di sisi lain, pemerintah juga dihadapkan pada dinamika pengembangan industri baterai nasional. Cecep menjelaskan, saat ini Indonesia mendorong penguatan industri baterai berbasis nikel, yakni NFC.
Namun, pasar global masih didominasi oleh teknologi baterai lithium iron phosphate (LFP). Pasalnya, LFP dinilai memiliki biaya produksi lebih rendah.
“Meski LFP lebih murah, kita tetap ingin menonjolkan dan memperkuat industri nikel berbasis NFC,” ujar Cecep.
Dia menambahkan bahwa sejumlah negara seperti Australia, bahkan telah menghentikan operasi tambang nikel karena harga yang tidak lagi kompetitif. Menurutnya, kondisi ini menjadi sinyal kuat perlunya pembenahan tata kelola dan kebijakan industri tambang di dalam negeri agar lebih adaptif terhadap dinamika global.
“Ke depan, tentu diperlukan kebijakan yang dapat meningkatkan daya saing dan keberlanjutan industri nikel nasional,” kata Cecep.
Jurus ESDM Perbaiki Tata Kelola Tambang
Lebih lanjut, Cecep mengungkapkan sejumlah upaya perbaikan tata kelola pertambangan yang dilakukan Kementerian ESDM. Menurutnya, salah satu upaya itu adalah memperbaiki aturan yang menyangkut ketentuan produksi. Dia mengatakan, saat ini Kementerian ESDM mengontrol produksi berdasarkan demand.
Oleh karena itu, kini penerbitan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) minerba dilakukan dari 3 tahun menjadi 1 tahun sekali.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Cara Penyusunan, Penyampaian, dan Persetujuan RKAB serta Tata Cara Pelaporan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara.
Menurut Cecep, aturan baru ini bisa menekan isu oversuplai, khususnya untuk komoditas nikel. “Itu yang jadi satu perubahan setidaknya untuk isu oversuplai bisa ditekan dengan pengaturan produksi,” ujarnya.
Di samping itu, Kementerian ESDM juga melakukan penyederhanaan perizinan lewat digitalisasi. Cecep mengatakan, kini pengusaha dapat mengajukan izin hingga perpanjangan RKAB melalui aplikasi MinerbaOne.
Menurutnya, kehadiran MinerbaOne dapat menjadi salah satu tahapan awal menuju transformasi digital perizinan, terutama di sektor minerba.
Sebab, MinerbaOne akan mengintegrasikan berbagai sistem yang sebelumnya ada seperti MODI (Minerba One Data Indonesia), EPNBP (Elektronik Penerimaan Negara Bukan Pajak), dan MOMS (Minerba Online Monitoring System). Editor : Denis Riantiza Meilanova
