Harga Mineral Acuan (HMA) nikel yang ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk periode kedua Agustus 2025 turun tipis. Berdasarkan Kepmen ESDM No. 271.K/MB.01/MEM.B/2025, HMA nikel ditetapkan sebesar US$15.012,67 per dmt (dry metric ton). Angka ini sedikit lebih rendah dibanding periode pertama Agustus yang berada pada level US$15.028,33 per dmt.
Penurunan ini, meski tidak signifikan, menjadi sinyal penting bagi para pelaku industri nikel. Menurut Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), fluktuasi harga seperti ini harus menjadi perhatian dalam menyusun strategi produksi dan pemasaran, mengingat HMA menjadi acuan utama dalam transaksi domestik serta penghitungan royalti pertambangan.
Penetapan HMA dilakukan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) ESDM, berdasarkan formula yang diatur dalam Kepmen ESDM No. 2946K/30/MEM/2017. Formula ini mempertimbangkan sejumlah faktor, antara lain harga pasar internasional, kadar nikel dalam bijih, serta biaya pengolahan dan pemurnian, dengan masukan dari pelaku industri.
Dalam rilis resminya, APNI juga menyampaikan data terbaru Harga Patokan Mineral (HPM) untuk bijih nikel kadar rendah sebagai acuan transaksi antara penambang dan smelter. Untuk bijih nikel dengan kadar 1,60% dan kadar air (moisture content) sebesar 30%, harga patokan ditetapkan sebesar US$28,58 per wmt. Sementara itu, bijih dengan kadar 1,70% dan kadar air 35% dihargai US$32,16 per wmt.
Adapun untuk kadar 1,80% dengan kadar air 19%, harga patokan mencapai US$35,94 per wmt. Sementara bijih nikel berkadar 1,90% dengan kadar air 20% memiliki harga patokan sebesar US$39,93 per wmt. Untuk kadar 2,00% dan kadar air 21%, harga bervariasi tergantung pelaku industri, yakni US$44,14 per wmt dan US$40,98 per wmt.
Tren penurunan harga acuan ini tidak dapat dipandang remeh, mengingat kondisi pasar global masih diliputi ketidakpastian. Permintaan dari sektor hilir seperti industri baterai kendaraan listrik dan stainless steel cenderung fluktuatif, sehingga perusahaan perlu memperhitungkan kembali margin produksi serta efisiensi operasional.
Selain itu, dinamika regulasi ekspor dan arah kebijakan hilirisasi dalam negeri menuntut pelaku usaha untuk terus beradaptasi. Dalam kondisi seperti ini, efisiensi biaya dan pemanfaatan teknologi menjadi kunci utama bagi keberlanjutan industri nikel nasional. (Shiddiq)