IEA: Moratorium Ekspor Marak, Pasar Mineral Global Terdisrupsi

BADAN Energi Internasional atau International Energy Agency (IEA) mengungkapkan pasar logam baterai di dunia makin rawan terdisrupsi, seiring dengan kian berkembangnya tren pelarangan ekspor mineral penting.

Tren pembatasan ekspor membawa risiko terhadap keamanan pasokan mineral global, menurut lembaga itu, kendati produksi di banyak negara penambang utama —termasuk Indonesia— relatif terjaga.

“Di tengah meningkatnya konsentrasi pasokan, sejumlah besar tindakan pengendalian ekspor pada mineral penting telah diperkenalkan, terutama sejak 2023,” papar IEA dalam laporan Global Critical Minerals Outlook 2025, yang dilansir pekan ini.

Pada Desember 2024, China mulai membatasi ekspor galium, germanium, dan antimon, yang merupakan mineral utama untuk produksi semikonduktor, ke Amerika Serikat (AS).

Kebutuhan mineral logam untuk transisi energi./dok. Bloomberg

Hal ini diikuti oleh pengumuman lebih lanjut pada awal 2025, termasuk pembatasan pada tungsten, telurium, bismut, indium, dan molibdenum serta pada tujuh elemen tanah jarang berat.

Pada Februari 2025, Republik Demokratik Kongo (DRC) mengumumkan penangguhan ekspor kobalt selama empat bulan untuk mengekang penurunan harga.

“Saat ini, lebih dari separuh kelompok mineral terkait energi yang lebih luas tunduk pada beberapa bentuk kontrol ekspor,” papar IEA.

Tren pembatasan ekspor mineral tidak hanya bertambah jumlahnya, tetapi juga meluas cakupannya hingga melibatkan tidak hanya bahan mentah dan olahan, tetapi juga teknologi pemrosesan, seperti litium dan pemurnian tanah jarang.

Konsentrasi pasar yang tinggi meningkatkan kerentanan terhadap guncangan pasokan, terutama jika, karena alasan apapun, pasokan dari negara produsen terbesar terganggu.

“Ketika pemasok terbesar dan permintaannya dikecualikan, keseimbangan pasar secara keseluruhan menjadi sangat berbeda,” tulis lembaga yang bermarkas di Prancis itu.

Di Indonesia sendiri, larangan ekspor mineral bijih sudah digalakkan pemerintah sejak lama. Salah satu yang paling sukses adalah larangan ekspor bijih nikel untuk diolah di dalam negeri melalui industri smelter.

Indonesia sudah lebih dahulu menerapkan larangan ekspor bijih logam sejak 2020 dan meningkatkan nilai ekspor nikelnya dari US$3 miliar menjadi US$30 miliar dalam dua tahun karena perusahaan-perusahaan China membangun smelter di negara ini.

Tembaga dan Litium

Bagaimanapun, IEA masih memproyeksikan keseimbangan pasokan-permintaan mineral penting hingga 2035 relatif membaik dibandingkan dengan beberapa tahun lalu, meski kekhawatiran utama tetap ada, terutama untuk tembaga.

Untuk nikel, kobalt, grafit, dan tanah jarang; pasokan diharapkan dapat mengejar pertumbuhan permintaan yang diproyeksikan berdasarkan pengaturan kebijakan saat ini, jika proyek yang direncanakan berjalan sesuai jadwal.

Namun, tembaga dan litium merupakan pengecualian utama. 

“Meskipun permintaan tembaga kuat dari elektrifikasi, jalur proyek pertambangan tembaga saat ini menunjukkan potensi kekurangan pasokan sebesar 30% pada 2035 karena penurunan kadar bijih, kenaikan biaya modal, terbatasnya penemuan sumber daya, dan waktu tunggu yang lama,” terang IEA.

Untuk litium, pasar jangka pendek tampak memiliki pasokan yang baik, tetapi permintaan yang tumbuh pesat diperkirakan akan mendorong pasar ke defisit pada 2030-an.

Namun, prospek untuk mengembangkan proyek litium baru jauh lebih menguntungkan daripada tembaga. (wdh)

Sumber: https://www.bloombergtechnoz.com, 24 Mei 2025

Temukan Informasi Terkini

Laba Sepanjang 2024 Naik 46%, Ini Daftar Program Prioritas MIND ID Sepanjang 2025

baca selengkapnya

Selangkah Lagi UKM Dapat Jatah Tambang, Siapa yang Layak?

baca selengkapnya

PT Gag Nikel Masih Belum Beroperasi di Raja Ampat Meski Tidak Dicabut Izinnya

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top