Jeda Perang Dagang AS-China, Ekspor Minerba RI Dapat Angin Segar

MEREDANYA tensi perang dagang Amerika Serikat (AS)-China untuk sementara waktu diyakini dapat mengatrol harga komoditas pertambangan, yang bisa berdampak positif terhadap ekspor mineral dan batu bara (minerba) Indonesia.

Dalam kaitan itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menyebut gencatan tarif antara dua ekonomi terbesar dunia itu dapat memberi napas lega terhadap permintaan komoditas pertambangan.

“Aspek positifnya adalah potensi peningkatan permintaan global. Harga juga akan lebih stabil karena didukung kondisi ekonomi yang kondusif dan aman,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (14/5/2025).

“Bagi Indonesia, ini bisa membuka peluang pasar [ekspor] ke AS, pasar yang kosong, atau sebagai substitusi dari China bisa dimanfaatkan untuk produk Indonesia bisa masuk.”

Hari ini, harga mineral logam andalan Indonesia tercatat kompak menguat di London Metal Exchange (LME). Nikel diperdagangkan di US$15.735/ton, menguat 0,64% dari hari sebelumnya; tembaga di US$9.599,50/ton menguat 0,83%; dan timah di US$32.721/ton naik 0,45%. 

Dari perspektif ekonom, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat meredanya perang dagang AS-China tidak hanya memberikan sentimen positif, tetapi juga tantangan tersendiri bagi ekonomi Indonesia.

Bhima sepakat bahwa harga komoditas ekspor minerba diperkirakan berangsur pulih, sejalan dengan meningkatnya permintaan industri di China usai kesepakatan tarif antara Beijing dan Washington awal pekan ini.

Harga batu bara Asia anjlok./dok. Bloomberg

Namun, rebound harga komoditas minerba berlangsung lambat. Batu bara, sebutnya, terpantau hanya naik 0,5% di pasar internasional sepekan terakhir, lebih rendah dari penguatan harga minyak mentah sebesar 8,92% pada periode yang sama.

Sementara itu, harga referensi nikel internasional juga hanya menguat 0,6% pada rentang yang sama.

“Ada lag dari dampak perang dagang sebelumnya ke permintaan minerba. Meski mulai reda tensinya, tetapi permintaan sektor industri manufaktur dan properti di China masih sluggish,” kata Bhima.

Fenomena tersebut dibarengi dengan pelemahan kurs rupiah yang cenderung tertahan, sehingga membuat imported inflation atau meningkatnya harga barang impor bisa lebih kecil. Di sisi lain, cadangan devisa juga tidak terlalu banyak terkuras untuk intervensi rupiah.

Tantangan

Bagaimanapun, Bhima menggarisbawahi dampak rendahnya tarif China dibandingkan dengan Indonesia ke pasar AS akan menurunkan daya saing ekspor Indonesia. Pangsa pasar produk asal Indonesia seperti tekstil, alas kaki dan pakaian jadi di AS bisa direbut oleh China. 

Sementara itu, Indonesia hanya diuntungkan dari sisi permintaan bahan baku mentah dan barang setengah jadi.

“Dampak PHK di sektor padat karya juga akan bergantung seberapa kecil tarif yang akan dibebankan ke Indonesia. Jika tarif ekspor China ke AS lebih rendah, yang terjadi adalah relokasi industri dari Indonesia kembali ke China,” ujarnya.

Investasi dari AS dan negara Eropa justru masif ke China dibandingkan dengan negara alternatif lainnya termasuk ke Indonesia. Realisasi investasi Indonesia makin tertekan setelah pada kuartal I-2025 pembentukan modal tetap bruto (PMTB) terkontraksi 7,4% dari kuartal sebelumnya.

Untuk itu, Bhima menilai Indonesia harus lebih agresif melobi AS dengan gunakan pembaruan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) Freeport pasa-2041, dan relaksasi ekspor bijih konsentrat tembaga yang sedang dinikmati Freeport.

“Isu Laut China Selatan sebaiknya masuk ke meja negosiasi juga untuk menekan posisi AS agar memberikan tarif lebih rendah dari China. Sejauh ini ada kekhawatiran tarif Indonesia tetap lebih tinggi dari China yang sebesar 30%,” terangnya.

“Tetap perlu diwaspadai juga masuknya barang impor asal China, Vietnam, dan Kamboja ke Indonesia dalam masa jeda negosiasi. Pemicu PHK padat karya Indonesia bisa lebih disebabkan persaingan barang impor dibandingkan sulitnya ekspor ke pasar AS.”

Untuk diketahui, pada Senin (12/5/2025), AS sepakat untuk memangkas tarif mereka terhadap barang-barang impor dari China dari sebesar 145% menjadi 30%, termasuk tarif yang dikenakan pada fentanil mulai 14 Mei hingga 90 hari ke depan. 

Sebaliknya, China juga bersedia menurunkan tarif mereka untuk barang-barang impor dari AS dari sebesar 125% menjadi 10%.

Hal itu disampaikan Menteri Keuangan AS Scott Bessent dalam taklimat media yang digelar di Jenewa.

“Kami telah melakukan diskusi yang sangat kuat dan produktif mengenai langkah-langkah maju terkait fentanil. Kami sepakat bahwa tidak ada pihak yang ingin memisahkan diri,” kata Bessent, dilansir Bloomberg News, Senin siang.

Bessent juga mengatakan kedua belah pihak akan membentuk mekanisme untuk melanjutkan diskusi tentang hubungan ekonomi dan perdagangan. (wdh)

Sumber: https://www.bloombergtechnoz.com, 14 Mei 2025

Temukan Informasi Terkini

Laba Sepanjang 2024 Naik 46%, Ini Daftar Program Prioritas MIND ID Sepanjang 2025

baca selengkapnya

Selangkah Lagi UKM Dapat Jatah Tambang, Siapa yang Layak?

baca selengkapnya

PT Gag Nikel Masih Belum Beroperasi di Raja Ampat Meski Tidak Dicabut Izinnya

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top