Kelesuan pasar bijih nikel Indonesia diproyeksi berlanjut pada kuartal III-2025, meskipun kondisinya mulai membaik dari tiga bulan sebelumnya, seiring dengan ketatnya persaingan penambang untuk mengisi permintaan smelter di tengah aturan kuota produksi yang baru.
Menurut data Shanghai Metals Market (SMM), hingga pertengahan Agustus, harga akhir bijih nikel laterit kadar 1,6% bergerak di rentang US$50,5-US$53,8 per ton basah atau wet metric ton (wmt), dengan premi utama sekira US$24-US$26 per wmt.
Nikel laterit kadar 1,3% bergerak di US$25,5-US$27,5 per wmt, dengan rerata penurunan harga sekitar 1,9% dibandingkan dengan periode akhir kuartal II-2025.
Sejalan dengan tren harga bijih yang melembam, pasar mencermati kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengembalikan rentang persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) pertambangan dari 3 tahunan menjadi 1 tahunan.
Revisi kebijakan ini akan dirampungkan awal September, sedangkan para penambang diestimasikan mulai mengajukan permohonan RKAB anual mereka sampai dengan akhir September. Persetujuan kuota 2026 kemungkinan akan dimulai pada Oktober.
Adapun, kuota RKAB bijih nikel Indonesia pada 2025 berada di kisaran 300-310 juta ton, dengan sebagian besar revisi yang tertunda diperkirakan selesai pada akhir Agustus.
“Hal ini dapat menyebabkan peningkatan pasokan yang signifikan, sementara permintaan telah melemah sejak Juli, karena beberapa smelter mengurangi atau menghentikan produksi,” tulis tim riset SMM dalam catatan analisis pasarnya, Kamis (21/8/2025).
Tekanan Biaya
Di pasar saprolit—bijih nikel kadar tinggi yang dibutuhkan smelter pirometalurgi atau rotary kiln electric furnace (RKEF) untuk bahan baku baja nirkarat — SMM memperkirakan tekanan inversi biaya makin dalam pada awal kuartal III-2025.
Akan tetapi, harga nickel pig iron (NPI) Indonesia masih menunjukkan tren kenaikan yang relatif kuat dari pertengahan Juli hingga pertengahan Agustus, kendati margin negatif masih persisten untuk beberapa smelter RKEF.
Secara umum, menurut SMM, sentimen di pasar NPI saat ini mulai membaik dibandingkan dengan penurunan tajam yang terjadi pada kuartal sebelumnya.
Di pasar limonit—nikel kadar rendah yang diserap smelter hidrometalurgi atau high pressure acid leach (HPAL) untuk bahan baku baterai — persetujuan revisi RKAB dilaporkan telah menyebabkan situasi kelebihan pasokan, karena permintaan dari smelter HPAL masih terbatas.
“Banyak proyek HPAL baru belum memulai pengadaan bijih dalam skala besar, sehingga memberikan tekanan tambahan pada harga [nikel limonit],” terang SMM.
Ke depannya, seiring dengan potensi peningkatan lini produksi beberapa smelter HPAL baru dan pengoperasian kembali beberapa smelter RKEF yang mengalami shutdown, dinamika pasar nikel Indonesia diyakini akan membaik pada kuartal ketiga.
Selain itu, proses persetujuan pengajuan RKAB 2026 akan sangat memengaruhi ekspektasi harga dan strategi pengadaan smelter.
“Singkatnya, permintaan bijih nikel diperkirakan tetap tangguh di tengah persaingan yang ketat antara penambang dan smelter. Namun, harga kemungkinan akan tetap fluktuatif hingga akhir tahun ini, dengan potensi kenaikan yang terbatas dan beberapa risiko penurunan yang masih ada,” terang SMM.
Dinamika Paruh Pertama
Sekadar catatan, pasar nikel Indonesia melewati periode penuh tantangan pada semester I-2025.
Harga bijih nikel pada kuartal I-2025 memang dimulai dengan pijakan yang kuat. Premi saprolit naik ke rata-rata US$22/wmt per akhir Maret, sedangkan limonit mengikuti tren serupa di kisaran US$26-US$28/wmt.
Sentimen pasar saat itu terdongkrak oleh peralihan ke sistem harga harga patokan mineral (HPM) semi-bulanan, yang memperkuat ekspektasi bullish.
Tekanan kenaikan ini sebagian besar berasal dari kondisi pasokan yang ketat, terutama di Sulawesi, di mana musim hujan yang berkepanjangan menghambat aktivitas pertambangan dan logistik.
Sistem kuota dalam RKAB—meskipun secara teknis sudah berlaku—menghadapi penundaan implementasi, sehingga sebagian besar kuota produksi yang disetujui kurang termanfaatkan pada bulan-bulan awal 2025.
Akibatnya, pasokan bijih tetap terbatas, terutama untuk saprolit kadar tinggi. Dinamika sisi permintaan juga berkontribusi pada penguatan harga.
SMM mencatat banyak produsen NPI Indonesia memasuki tahun ini dengan persediaan bijih yang relatif rendah, pola musiman yang umum diperparah oleh waktu Tahun Baru Imlek.
“Hal ini mungkin memicu gelombang pengisian stok ulang dari akhir Januari hingga Maret, yang makin memperketat pasar,” terang SMM.
Dari perspektif cadangan stok, smelter RKEF berjuang untuk mempertahankan pasokan yang cukup, dengan sebagian besar menyimpan stok bahan baku kurang dari dua bulan.
Harga bahan bakar yang tinggi dan hambatan logistik memperburuk situasi, yang menyebabkan kegagalan upaya pengisian stok ulang di beberapa wilayah.
Urgensi untuk mengamankan kargo mungkin telah mendorong pembeli untuk menerima harga yang lebih tinggi sepanjang kuartal tersebut, meskipun tingkat persediaan secara keseluruhan berada dalam tren menurun karena antisipasi kondisi yang lebih baik untuk kuartal berikutnya.
Memasuki kuartal II-2025, dinamika pasar bijih nikel lebih kompleks karena segmen saprolit dan limonit saling menunjukkan divergensi yang signifikan—baik dari segi pergerakan harga maupun fundamentalnya.
Harga saprolit terus naik hingga Mei, mencapai US$57,3/wmt untuk bijih Ni 1,6%, sebelum mulai menurun pada akhir Juni.
Situasi pasokan tetap terbatas, dengan curah hujan yang terus berlanjut di Sulawesi dan Halmahera yang menunda operasi penambangan dan pemuatan.
Meskipun beberapa persetujuan kuota RKAB mulai berdatangan pada Juni, SMM mendata persetujuan tersebut belum cukup untuk menormalkan pasar.
“Di sisi permintaan, smelter berupaya mengisi kembali persediaan pada kuartal kedua karena rendahnya persediaan. Akibatnya, peningkatan permintaan secara signifikan mendorong kenaikan harga bijih nikel,” papar SMM.
Peningkatan harga ini diperparah dengan penerapan struktur kebijakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) baru pada 26 April, yang menaikkan tarif royalti nikel dari 10% menjadi 14%. Menurut SMM, inisiatif ini menambah biaya penambangan sekitar US$1-US$2 per wmt.
Walhasil, perusahaan pertambangan mempertahankan harga tetap dan akan mendukung kenaikan harga untuk meringankan beban royalti, sementara smelter RKEF tidak punya banyak pilihan selain menerima harga yang lebih tinggi untuk mengisi kembali persediaan bijih mereka.
Di sisi persediaan, kondisi penimbunan sedikit membaik pada kuartal II-2025, dengan sebagian besar smelter mengisi kembali stok mereka.
Per April, pasokan saprolit mencapai tingkat persediaan terendah, yaitu sekitar 1,7 bulan. Untuk itu, smelter secara bertahap meningkatkan pasokan bijih mereka hingga Juni meskipun beban inversi biaya semakin berat.
Di pasar limonit, pasokan bijih belum menunjukkan pengetatan yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh formasi geologi dan urutan penambangan limonit sebagai lapisan pertama.
Kenaikan tarif royalti secara keseluruhan menyebabkan keuntungan limonit lebih rendah dibandingkan dengan saprolit dengan biaya penambangan yang sama.
Namun, permintaan menurun pada awal kuartal kedua setelah kecelakaan tailing di pabrik HPAL Morowali pada Maret. Harga limonit turun 1,3% menjadi US$25,5-US$26,5 per wmt.
Memasuki Mei, seiring dengan pemulihan operasional secara bertahap dan peningkatan proyek HPAL lainnya, permintaan juga pulih, sehingga harga kembali menguat menjadi US$26-US$28 per wmt pada Juni, yang juga didukung oleh ekspektasi terbatasnya kuota RKAB untuk akhir semester I-2025. (wdh)