Kata Indo Tambangraya (ITMG) Soal Isu Kenaikan Royalti Batu Bara

PT INDO Tambangraya Megah Tbk (ITMG) mengatakan masih akan mencermati dampak dari rencana penyesuaian tarif royalti batu bara, yang telah diusulkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Director Risk, Strategy and Communication Indo Tambangraya Megah, Yulius Kurniawan Gozali, mengatakan sejauh ini penyesuaian tarif royalti batu bara tersebut masih dalam tahap rencana pemerintah.

“Untuk itu, kami belum bisa memberikan tanggapan dan masih terus mencermati perkembangan rencana ini,” ujarnya saat dihubungi, dikutip Kamis (13/3/2025).

Bagaimanapun, dia menggarisbawahi perseroan berharap pemerintah bersedia membuka ruang dialog yang konstruktif dengan para pelaku industri batu bara agar kebijakan tarif royalti yang ditetapkan nantinya dapat mendukung keberlanjutan sektor ini.

“[Sejauh ini] kami belum bisa menakar dampaknya terhadap bisnis perusahaan,” kata Yulius.

Pada 2024, produksi batu bara Indo Tambangraya Megah mencapai 20,2 juta ton, naik 20% secara anual. Penjualan batu bara ITMG ke pihak ketiga pada tahun lalu mencapai US$2,20 miliar (Rp36 triliun), turun 2,65% secara tahunan.

Adapun, penjualan batu bara ke pihak berelasi pada 2024 juta mengalami penurunan sebesar 23% secara anual, atau dari US$112,18 juta (Rp1,8 triliun) menjadi US$86,38 juta (Rp1,4 triliun).

Untuk 2025, perseroan menargetkan produksi batu bara di rentang 20,8 juta-21,9 juta ton, dengan target penjualan antara 26,3 juta-27,4 juta ton.

Industri batu bara dinilai bakal menjadi subsektor pertambangan yang paling tertekan jika pemerintah jadi mengeksekusi rencana kenaikan tarif royalti komoditas minerba pada tahun ini.

Vice President, Head of Marketing, Strategy and Planning at PT Kiwoom Sekuritas Indonesia Oktavianus Audi mengatakan kenaikan tarif royalti komoditas minerba praktis bakal mendorong beban biaya operasional produsen tambang, khususnya batu bara dan nikel.

“Kenaikan terakhir pada PP No. 26/2022 dan jika kembali dinaikkan untuk batu bara kalori <4.200 kcal/kg menjadi 9% dan kalori 4.200-5.200 kcal/kg menjadi 11,5%, maka dapat menekan operasional,” tuturnya.

Sektor pertambangan batu bara, lanjutnya, menghadapi tahun yang berat pada 2025 setelah pemerintah mewajibkan ekspor komoditas tersebut mengacu pada harga batu bara acuan (HBA).

Tidak hanya itu, eksportir batu bara juga dihadapkan pada kebijakan wajib retensi devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) sebesar 100% selama 12 bulan. Kedua kebijakan tersebut berlaku bersamaan mulai 1 Maret 2025.

“Pada saat bersamaan, perusahaan batu bara juga makin tertekan di tengah koreksi harga komoditas. Kami memperkirakan stagnasi demand dari China dan India, hingga pengalihan energi baru terbarukan bakal mendorong penurunan harga [batu bara],” terang Oktavianus.

Kementerian ESDM akhir pekan lalu menyampaikan usulan penyesuaian tarif royalti komoditas minerba. Untuk batu bara, tarif royalti diusulkan naik 1% untuk HBA ≥ US$ 90 sampai tarif maksimum 13,5%.

Sementara itu, tarif royalti pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) 14%-28% dengan perubahan rentang tarif (Revisi PP No. 15/2022). Semula tarif progresif menyesuaikan HBA, sementara tarif PNBP IUPK sebesar 14%-28%. (wdh)

Sumber: bloombergtechnoz.com, 13 Maret 2025

Temukan Informasi Terkini

Laba Sepanjang 2024 Naik 46%, Ini Daftar Program Prioritas MIND ID Sepanjang 2025

baca selengkapnya

Selangkah Lagi UKM Dapat Jatah Tambang, Siapa yang Layak?

baca selengkapnya

PT Gag Nikel Masih Belum Beroperasi di Raja Ampat Meski Tidak Dicabut Izinnya

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top