Kecuali Emas, Tekanan Harga Masih Bayangi Sektor Tambang RI 2025

INDONESIA Mining Association (IMA) memproyeksikan industri pertambangan nasional pada 2025 masih akan dihadapkan pada tantangan kelesuan harga komoditas mineral logam, selain emas.

Direktur Eksekutif IMA Hendra Sinadia mengatakan, secara umum, sentimen pasar komoditas pertambangan masih selanggam dengan yang terjadi pada 2024.

“Pada 2025, tren harga komoditas [masih] turun, kecuali emas. […] Untuk emas saat ini sedang bagus, tembaga juga cukup bagus, sedangkan nikel tren harganya lagi turun,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (7/5/2025).

Di London Metal Exchange (LME), tembaga dilego di harga US$9.538/ton pagi ini, naik 1,84% dari hari sebelumnya. Sementara itu, nikel bertengger di US$15.698/ton dan timah US$31.992/ton, masing-masing naik 1,41% dan 4,22%.

Secara tren, harga tembaga turun 6% bulan lalu —penurunan terdalam sejak pertengahan 2022— karena munculnya tanda-tanda bahwa perang dagang mulai merugikan ekonomi global.

Adapun, nikel cenderung fluktuatif pada April di mana paruh pertama bulan lalu harga mengalami tren kenaikan 11,3% dari 9-17 April ke level US$15.615/ton, sebelum bergerak stabil setelahnya.

Timah juga fluktuatif di rentang moderat US$30.990/ton-US$33.110,41/ton pada bulan lalu. Sementara itu, harga emas secara year to date sudah melesat 23,52%.

Beban Biaya

Dari dalam negeri, Hendra mengatakan industri pertambangan nasional pada 2025 dihadapkan pada isu kenaikan biaya operasional.

Kenaikan tersebut dipicu oleh berbagai regulasi yang diterapkan pemerintah, seperti tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang naik dari 11% menjadi 12% serta penyesuaian tarif royalti minerba.

Dari sektor batu bara, Plt Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani mensinyalir penyesuaian royalti bukan masalah utama yang dihadapi penambang.

“[Pada] 2025, [tantangan] yang terberat adalah kenaikan [mandatori biodiesel] B40, yang jelas secara signifikan menambah beban ke perusahaan,” ujarnya.

Bagaimanapun, dia tidak menampik industri pertambangan —khususnya batu bara— menjadi satu-satunya sektor lapangan usaha yang mengalami kontraksi dalam laporan pertumbuhan ekonomi tiga bulan pertama tahun ini.

Kondisi tersebut selaras dengan laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menunjukkan adanya penurunan setoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batu bara (minerba) pada 2024.

Setoran PNBP minerba pada 2024 mencapai Rp140,5 triliun, menyumbang 46,79% dari total PNBP tahun lalu. Namun, capaian tersebut makin merosot dari setoran minerba pada 2023 senilai Rp172,1 triliun dan 2022 sejumlah Rp180,4 triliun.

Pertambangan batu bara, lanjutnya, diadang berbagai masalah geopolitik global dan perang tarif Amerika Serikat (AS)-China yang makin menambah ketidakpastian bagi pasar komoditas batu bara.

“Banyak pembeli menahan diri dan mengambil posisi wait and see terhadap kontrak pembelian baru,” terang Gita.

Hal ini menjadi salah satu alasan di balik turunnya kinerja ekspor batu bara Indonesia pada kuartal I-2025, yang merefleksikan adanya tekanan nyata dari sisi permintaan global dan kompetisi pasar.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor batu bara Indonesia hanya mencapai US$1,97 miliar pada Maret, atau anjlok 5,54% dari bulan sebelumnya dan 23,14% secara tahunan.

Kendati demikian, Gita mengatakan Indonesia masih memiliki celah untuk bisa memacu ekspor ke Asia Selatan dan Asia Tenggara, yang masih membutuhkan batu bara sebagai bagian dari bauran energi mereka.

“Meski tidak bisa sepenuhnya menggantikan porsi ekspor ke China atau India,” ujarnya.

Menurut laporan BPS, produk domestik bruto (PDB) Tanah Air tumbuh 4,87% year on year (yoy) pada Januari-Maret 2025. Capaian itu melambat dari triwulan sebelumnya yang tumbuh 5,02% yoy dan menjadi yang terlemah sejak kuartal III–2021.

Dari sisi lapangan usaha, hampir seluruhnya tumbuh. Namun, hanya satu yang mengalami kontraksi yaitu pertambangan yang minus 1,23% secara yoy.

Peran industri pertambangan terhadap ekonomi Indonesia cukup signifikan, menyumbang 8,99% terhadap PDB. Walhasil, saat sektor ini mengalami kontraksi, dampaknya akan cukup terasa. (wdh)

Sumber: https://www.bloombergtechnoz.com, 7 Mei 2025

Temukan Informasi Terkini

Laba Sepanjang 2024 Naik 46%, Ini Daftar Program Prioritas MIND ID Sepanjang 2025

baca selengkapnya

Selangkah Lagi UKM Dapat Jatah Tambang, Siapa yang Layak?

baca selengkapnya

PT Gag Nikel Masih Belum Beroperasi di Raja Ampat Meski Tidak Dicabut Izinnya

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top