Kontroversi Revisi UU Minerba: Dikebut Semalam, Kampus Kecipratan Konsesi Tambang

DPR RI dijadwalkan akan melakukan pengambilan keputusan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) menjadi RUU usul insiatif DPR pada rapat paripurna, Kamis (23/1/2025).

Berdasarkan agenda acara DPR, Rapat Paripurna Ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 akan digelar pada pukul 10.00 WIB. Pengambilan keputusan revisi UU Minerba akan didahului dengan agenda mendengar pendapat fraksi-fraksi terhadap RUU tersebut.

Adapun, penyusunan draf revisi UU Minerba yang dibahas maraton oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di tengah masa reses terkesan terburu-buru. Bahkan, sebagian besar anggota Baleg DPR baru mendapatkan naskah akademik RUU Minerba 30 menit sebelum rapat pleno yang digelar pada Senin (20/1/2025) sekitar pukul 10.30 WIB.

Dalam rapat tersebut, Anggota Baleg sekaligus Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PDIP Putra Nababan sempat memberikan interupsi agar perancangan RUU dibahas dengan benar dan lurus. Dia pun kaget pembahasan RUU Minerba dilakukan secara mengebut padahal masih masa reses.

“Saya juga menjadi salah satu orang yang mempertanyakan soal naskah akademik tadi ya. Kayaknya kok nggak mungkin kita bikin UU tanpa membaca naskah akademik lalu dikirim 30 menit sebelumnya, panjangnya 78 halaman,” ungkap Putra dalam Rapat Pleno Baleg DPR RI, Senin (20/1/2025) siang.

Dia juga menyoroti soal rapat pleno dan pembahasan panitia kerja (panja) yang berlangsung hingga malam hari. Menurut Putra, pembahasan RUU Minerba terlalu buru-buru. Pasalnya, waktu yang singkat keterlibatan dari pemangku kepentingan terkait menjadi minim, khususnya pelaku di sektor minerba dan masyarakat. Hal ini lantaran salah satu pembahasan dalam RUU Minerba tersebut terkait dengan pemberian wilayah izin usaha tambang (WIUP) untuk masyarakat.

Adapun, RUU Minerba perubahan keempat bersifat kumulatif terbuka. Sebab, UU Minerba sudah empat kali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dua pengujian dikabulkan bersyarat oleh MK, yaitu Putusan MK Nomor 64/PUU-XVIII/2020 dan Putusan MK Nomor 37/PUU-XIX/2021. Menindaklanjuti putusan MK, DPR pun melakukan revisi terhadap UU Minerba. Namun, selain merevisi UU Minerba sebagaimana yang diperintahkan oleh MK, Baleg juga memasukkan sejumlah substansi ke draf RUU Minerba, dengan alasan kebutuhan hukum.

Baleg DPR memasukkan substansi ihwal pemberian prioritas wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) bagi ormas keagamaan, perguruan tinggi, hingga usaha kecil dan menengah (UKM).

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menduga pembahasan revisi UU Minerba secara kilat oleh Baleg DPR, berkaitan dengan kekhawatiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2024 yang mengatur pemberian izin tambang untuk ormas dibatalkan oleh MK.

Hal itu dimungkinkan lantaran dia menilai pemberian izin tambang secara prioritas kepada ormas keagamaan melanggar azas persaingan usaha. Menurutnya, WIUP yang diberikan secara prioritas tak dibenarkan karena semua harus berdasarkan lelang.

“Karena tadi ada pelanggaran, tidak sesuai dengan prosedur lelang izin usaha pertambangan,” kata Bhima kepada Bisnis, Selasa (21/1/2025).

Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan menuturkan bahwa revisi UU Minerba ini memang untuk memberikan payung undang-undang untuk pemberian izin mengelola pertambangan bagi ormas. Menurutnya, revisi UU Minerba ini akan memberikan kedudukan hukum yang lebih tinggi untuk aturan pemberian izin tambang tersebut.

“Sudah jelas sekarang ini kan kalau Peraturan Pemerintah tentang ormas keagamaan kan ada untuk mendapatkan hak untuk mengelola sumber daya alam, khususnya minerba,” kata Bob.

Jatah Tambang untuk Perguruan Tinggi

Selain pembahasan yang terkesan kilat, sejumlah pasal-pasal di draf revisi UU Minerba juga menuai kritik, terutama terkait pemberian secara prioritas izin tambang untuk perguruan tinggi.

Hal itu tercantum dalam Pasal 51A yang menyebut WIUP mineral logam atau batu bara dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas. Pemberian dengan cara prioritas sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan mempertimbangkan luas WIUP mineral logam atau batu bara; status perguruan tinggi terakreditasi; dan peningkatan akses dan layanan pendidikan bagi masyarakat.

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menilai wacana pemberian WIUP bagi perguruan tinggi dan badan usaha swasta skala kecil menengah (UKM) tak adil.

Menurut Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey, pemberian WIUP itu tak adil karena diberikan secara prioritas. Dia menilai pemberian WIUP sebaiknya tetap sesuai hasil lelang.

Apalagi, pengusaha tambang mineral existing saat ini lebih memiliki pengalaman, kapabilitas, dan kemampuan finansial. Maklum, bisnis pertambangan bukan lah barang murah dan gampang.

Sementara itu, dia menilai perguruan tinggi dan UKM belum memiliki pengalaman, kapabilitas, dan kemampuan finansial untuk mengelola tambang.

“Kami merasa ini sangat-sangat nggak fair karena ada kata-kata prioritas,” tutur Meidy dalam rapat pleno bersama Baleg DPR RI, Rabu (22/1/2025).

Dia pun mempertanyakan kemampuan dari perguruan tinggi dan UKM dalam menghadapi sejumlah tantangan di industri tambang. Meidy mengungkapkan, salah satu tantangan bagi pelaku industri tambang harus menghadapi protes dari masyarakat, menjaga kelestarian alam, hingga menyelesaikan perizinan yang tumpang tindih.

Selain itu, Meidy juga menyebut pihaknya harus menghadapi ego sektoral antara kementerian untuk mengelola tambang. Dia mencontohkan, pihaknya sudah memiliki IUP, tetapi tak diperbolehkan menambang lantaran tidak mendapat izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan. Alhasil, dia tidak bisa menambang tapi harus tetap membayar sewa lahan.

“Apakah mampu teman-teman UMKM atau perguruan tinggi menghadapi tantangan yang kami hadapi seperti saat ini?” ucap Meidy.

Senada, Perwakilan PP Muhammadiyah Syahrial Suwandi menilai tidak semua perguruan tinggi memiliki kapasitas untuk mengelola tambang. Apalagi, tidak sembarang perguruan tinggi memiliki program studi pertambangan dan geologi.

“Kalau pun mereka punya prodi pertambangan dan geologi, nggak semua punya akreditasi terbaik. Padahal, pengelolaan tambang adalah kegiatan dari hulu ke hilir, terintegrasi dalam segala aspek yang ada. jadi ini perlu diperjelas,” kata Syahrial.

Dia juga menilai pemberian WIUP mineral logam untuk usaha swasta atau UMKM dengan cara prioritas, merupakan langkah yang kurang tepat.

Syahrial berpendapat sebaiknya pemberian WIUP mineral logam secara prioritas diberikan kepada badan usaha milik negara (BUMN) saja. Sebab, perusahaan swasta berskala UKM dirasa tak memiliki dana yang besar untuk mengelola tambang.

“Kami memandang apakah tidak sebaiknya ini dikelola BUMN saja? Karena kalau diserahkan pada swasta apalagi PMA [penanaman modal asing] jatuhnya utang juga ke bank,” kata Syahrial. Editor : Denis Riantiza Meilanova

Sumber: ekonomi.bisnis.com, 23 Januari 2025

Temukan Informasi Terkini

Laba Sepanjang 2024 Naik 46%, Ini Daftar Program Prioritas MIND ID Sepanjang 2025

baca selengkapnya

Selangkah Lagi UKM Dapat Jatah Tambang, Siapa yang Layak?

baca selengkapnya

PT Gag Nikel Masih Belum Beroperasi di Raja Ampat Meski Tidak Dicabut Izinnya

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top