Larangan Ekspor Nikel Filipina, Industri Smelter RI Terancam Kekurangan Bahan Baku

RENCANA pemerintah Filipina untuk melarang ekspor bijih nikel mulai Juni 2025 diperkirakan akan berdampak signifikan terhadap industri pengolahan nikel (smelter) di Indonesia.

Dewan Penasihat Pertambangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widajatno mengatakan, meski Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia, sejumlah smelter dalam negeri masih mengandalkan pasokan bijih nikel dari Filipina, khususnya untuk bijih berkadar tinggi yang mulai langka di dalam negeri.

Ketergantungan ini membuat sejumlah smelter, terutama yang beroperasi di kawasan industri seperti Morowali dan Weda Bay, rentan terhadap gangguan pasokan.

Pada tahun 2024, Indonesia mengimpor sekitar 10 juta ton bijih nikel dari Filipina, yang sebagian besar digunakan oleh smelter di kawasan industri seperti Morowali dan Weda Bay .

“Larangan ekspor ini dapat menyebabkan kekurangan pasokan bahan baku bagi smelter yang bergantung pada impor tersebut,” kata Djoko kepada Kontan, Rabu (7/5).

Menurut Djoko, larangan ekspor dari Filipina juga dikhawatirkan akan memperketat pasokan bijih nikel di pasar global dan mendorong kenaikan harga. Situasi ini bisa memberi keuntungan bagi produsen nikel domestik dalam jangka pendek, tetapi meningkatkan biaya operasional bagi smelter yang sangat bergantung pada bahan baku tersebut.

Di sisi lain, kondisi ini membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi baru di sektor hilirisasi nikel. Namun, Djoko menekankan pentingnya dukungan pemerintah agar potensi tersebut dapat dimaksimalkan.

“Perlu ada kepastian hukum, kemudahan perizinan, dan insentif investasi jika Indonesia ingin mengambil peluang dari berkurangnya suplai nikel global,” ujarnya.

Untuk memitigasi dampak dari kebijakan Filipina, Djoko mendorong sejumlah langkah strategis, di antaranya percepatan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) bagi perusahaan tambang agar dapat meningkatkan produksi domestik.

Selain itu, diversifikasi sumber impor dari negara lain, peningkatan efisiensi operasi smelter, serta pengembangan teknologi pengolahan bijih nikel berkadar rendah dinilai penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap bijih nikel berkadar tinggi dari luar negeri.

“Jika semua langkah ini dilakukan dengan cepat dan terukur, Indonesia tidak hanya bisa bertahan, tapi juga memperkuat posisi dalam rantai pasok global nikel,” pungkas Djoko.

Sementara itu, Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) Arif Perdana Kusumah mengatakan, FINI melalui informasi dan pemberitaan mengetahui bahwa Pemerintah Filipina tengah menggodok Rancangan Undang-undang (RUU) yang melarang ekspor mineral mentah, termasuk nikel yang ditargetkan dapat berlaku mulai Juni 2025.

Langkah ini diambil pemerintah Filipina sebagai upaya untuk meningkatkan industri pertambangan hilir, termasuk mendorong penambang untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter.

“FINI saat ini terus memantau isu tersebut dan masih mempelajari detil dampak dari kebijakan Pemerintah Filipina,” kata Arif kepada Kontan, Rabu (7/5).

Menurut Arif, dampak terhadap pengaruh pada persediaan nikel di tingkat global, pengaruh pada peningkatan harga, termasuk harga nikel Indonesia tentunya perlu diantisipasi oleh pihak Pemerintah Indonesia dan pelaku industri nikel.

Sumber: https://industri.kontan.co.id, 7 Mei 2025

Temukan Informasi Terkini

Laba Sepanjang 2024 Naik 46%, Ini Daftar Program Prioritas MIND ID Sepanjang 2025

baca selengkapnya

Selangkah Lagi UKM Dapat Jatah Tambang, Siapa yang Layak?

baca selengkapnya

PT Gag Nikel Masih Belum Beroperasi di Raja Ampat Meski Tidak Dicabut Izinnya

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top