Nikel Bisa Boncos Gegara Tarif Trump dan RI Masuk BRICS

EKSPOR nikel dinilai rawan tertekan setelah Indonesia bergabung dengan aliansi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS). Pada saat bersamaan, arus perdagangan komoditas global juga akan terdisurpsi rencana tarif impor Amerika Serikat (AS) di bawah presiden terpilih Donald Trump. 

Dalam kaitan itu, Vice President, Head of Marketing, Strategy and Planning PT Kiwoom Sekuritas Indonesia Oktavianus Audi mengatakan relasi AS dan China kemungkinan besar bakal memanas lagi, padahal Negeri Panda merupakan tujuan utama ekspor nikel Indonesia.

Di sisi lain, Trump pernah mengeluarkan pernyataan bahwa negara-negara BRICS yang mulai meninggalkan dolar dan akan menghadapi sanksi pengenaan tarif 100% oleh AS. Dengan demikian, barang-barang ekspor dari Indonesia dikhawatirkan akan termasuk dalam kategori untuk pengenaan kenaikan tarif, termasuk dari komoditas energi dan pertambangan.

“Ekspor nikel Indonesia tahun lalu terbanyak adalah ke China atau sebesar 888.846 ton, Jepang, 56.581 ton, dan Belanda 13.953 ton. [Kinerja ekspor nikel ini] berpotensi terganggu jika adanya peninjauan dan penilaian untuk pengenaan tarif ke Indonesia,”  kata Oktavianus saat dihubungi, Kamis (16/1/2025). 

Ekspor Nikel, Ekspor Tembaga, dan Ekspor Bauksit (Bloomberg Technoz)

Dia berpandangan pernyataan Trump perihal pengenaan tarif, pembatasan perdagangan, atau sanksi lainnya akan mengganggu perdagangan global seperti Section 301 yang pernah digunakan oleh Trump ke China untuk mengenakan tarif besar-besaran pada barang impor dengan alasan keamanan nasional.

Kami mengantisipasi perluasan pengenaan tarif tersebut, meski terdampak kontradiksi terkait dengan deklarasi darurat ekonomi AS. Pasalnya, Trump menyebut ekonomi AS sedang alami pertumbuhan pesat. Lebih jauh, kami mengkhawatirkan melebarnya dampak terhadap Indonesia, terlebih pascabergabung ke dalam BRICS,” ujarnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Desember 2024, nilai ekspor nonmigas malah turun 3,36% dengan nilai US$21,92 miliar. BPS menyebut penurunan nilai ekspor secara bulanan terutama didorong oleh mesin dan peralatan mekanis, nikel dan barang daripadanya, serta bijih logam terak dan abu. Satu bulan sebelumnya, BPS mencatat nikel sebagai komoditas penopang kinerja ekspor nonmigas pada November 2024.

Dari negara kawasan ekspor, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke China sepanjang 2024 tercatat US$60,22 miliar atau turun 3,38% dari 2023. Di sisi lain, ekspor nonmigas ke AS, India, negara-negara Asean, dan Uni Eropa kompak meningkat sepanjang 2024.

Kebijakan FEOC

Dalam sebuah kesempatan terpisah, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) juga memperingatkan industri nikel Indonesia akan makin ditantang oleh kebijakan Foreign Entities of Concern (FEOC) AS di bawah kepemimpinan Trump.

Direktur Kolaborasi Internasional Indef Imaduddin Abdullah mengatakan pasar komoditas mineral logam tengah dirundung kekhawatiran soal kebijakan utama Trump, yang meliputi penghapusan kredit pajak kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) dan pengetatan aturan FEOC.

Aturan tersebut akan membatasi komponen dari China yang telak akan memengaruhi pasar kendaraan listrik dunia. Kendati demikian, implementasi kebijakan tersebut masih akan tergantung pada dukungan Kongres AS. 

Dominasi China dalam industri pemrosesan nikel dunia./dok. Bloomberg

Meski mayoritas Kongres dikuasai oleh kader Partai Republik, sejumlah anggota partai yang dijuluki Grand Old Party (GOP) itu memiliki kepentingan ekonomi lokal terkait dengan industri EV di distrik mereka masing-masing.

“Jika pun pada akhirnya kebijakannya berhasil diubah dan memperlambat adopsi EV di AS, serta memengaruhi profitabilitas produsen, dampak globalnya relatif akan seimbang karena pasar EV global masih didominasi China dan Eropa,” terangnya kepada Bloomberg Technoz.

Sekadar catatan, industri kendaraan listrik China sendiri justru menunjukkan pertumbuhan kuat dengan proyeksi pangsa pasar neighborhood electric vehicle (NEV) mencapai 40% pada 2024, melonjak dari 26% pada 2023.

Melihat situasi tersebut, Imaduddin menerangkan tantangan bagi Indonesia —sebagai produsen nikel selaku bahan baku baterai EV— akan makin kompleks pada tahun-tahun mendatang.

“Pengetatan FEOC ini akan mempersulit ekspor nikel ke AS karena tingginya investasi China di sektor ini. Hanya 8%-9% produksi nikel global yang diperkirakan memenuhi syarat FEOC hingga 2027,” tuturnya.

Di sisi lain, sampai saat ini, Indonesia sendiri masih terlalu fokus pada hilirisasi nikel untuk produk antara (intermediate), sedangkan kapasitas produksi baterai yang dimiliki negara ini hanya mencakup 0,4% dari porsi global. Walakin, RI menguasai 50% dari total produksi nikel dunia.

“Tantangan lebih mendasar adalah bagaimana meningkatkan nilai tambah mengingat cadangan nikel yang terbatas —sekitar 15 tahun—  dan kebutuhan diversifikasi pasar di tengah standar ESG [environmental, social, and governance] yang makin ketat di pasar utama,” ujarnya.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendata total cadangan bijih nikel Indonesia mencapai 5,32 miliar ton dan cadangan logam nikel 56,11 juta ton per 2024, di mana Maluku Utara menjadi provinsi dengan jumlah cadangan yang paling banyak.

Cadangan bijih nikel mencapai 5,32 miliar ton ini terdiri dari 60% saprolit dan 40% limonit. (wdh)

Sumber: bloombergtechnoz.com, 16 Januari 2025

Temukan Informasi Terkini

Naik 4%, Pendapatan PTBA Sentuh Rp20,45 Triliun di Semester I 2025

baca selengkapnya

Ini Strategi PT Timah (TINS) Menjaga Bisnis Tumbuh Berkelanjutan

baca selengkapnya

Laba Bersih Semester I Anjlok 32%, Vale Kejar Kinerja Paruh Kedua

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top