INDUSTRI smelter nikel, khususnya jenis pirometalurgi, di Indonesia dinilai berisiko gulung tikar jika kondisi permintaan dan harga tidak kunjung membaik. Terlebih, pemain di sektor ini dianggap sudah terlalu jenuh atau saturated.
Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Muhammad Habib mengatakan gelombang penutupan smelter nikel di Tanah Air sangat mungkin terjadi, karena industri ini sangat tergantung pada permintaan global.
“Kalau misalnya global demand-nya sudah mulai saturated, mau tidak mau smelter ini terpaksa harus tutup atau misalnya pivot ke lini bisnis yang lain untuk mempertahankan operasinya,” ujarnya, Kamis (6/3/2025).
Kondisi tersebut diperparah dengan tekanan harga nikel yang terus turun dalam beberapa tahun terakhir. Akibat harga yang terpelanting, kata Habib produksi di industri pengolahan terpaksa harus dibatasi.
Penurunan harga nikel sejak 2022./dok. Bloomberg
Harga nikel anjlok ke level terendah sejak mencapai rekor tertingginya pada 2020. Per Rabu (5/3/2025), nikel di London Metal Exchange (LME) dilego di harga US$15.901/ton, turun 0,51% dari hari sebelumnya.
“Jadi setiap smelter membatasi juga produksi-produksinya, ataupun kalau misalnya memang ternyata memproduksi, dia tidak bisa mendapatkan harga yang kompetitif atau harga yang dibayangkan. Kenapa? Lagi-lagi karena Indonesia terlalu banyak smelter-nya, sedangkan global demand-nya itu enggak diperhitungkan dengan baik.”
Faktor Domestik
Selain faktor harga dan permintaan global, risiko gulung tikar industri smelter nikel juga dipengaruhi oleh faktor domestik.
Habib menilai kebijakan hilirisasi industri nikel yang berbanding lurus dengan gencarnya investasi smelter pirometalurgi tidak diimbangi dengan kalkulasi permintaan domestik.
“Kan Indonesia ini memaksa dahulu, pokoknya hilirisasi dahulu, tetapi kita tidak melihat domestic demand-nya ada atau tidak. Tidak berapa lama sejak investasi, apakah smelter-smelter itu bisa menjawab atau tidak terhadap permintaan domestik dan global?”
Belajar dari hal tersebut, Habib menyarankan agar pemerintah ke depannya lebih berhati-hati dan cermat dalam merumuskan peta jalan penghiliran, termasuk untuk sektor industri pengolahan nikel.
Pemerintah, lanjutnya, harus benar-benar memperhatikan pangsa pasar atau permintaan domestik dan global serta jangka waktunya sebelum memaksakan lebih banyak pabrik pengolahan didirikan di dalam negeri.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada akhir 2024 mendata Indonesia memiliki 190 proyek smelter nikel; terdiri dari 54 yang sudah beroperasi, 120 yang sedang tahap konstruksi, dan 16 dalam tahap perencanaan.
Dari 190 proyek tersebut, hanya 8 atau 9 smelter yang memiliki teknologi berbasis hidrometalurgi atau high pressure acid leaching (HPAL) yang bisa memproduksi bahan baku baterai, sedangkan sisanya berbasis pirometalurgi atau rotary kiln-electric furnace (RKEF) untuk memproduksi bahan baku baja nirkarat.
Proyeksi kebutuhan bijih nikel berada pada level 200.000 ton untuk 54 smelter yang sudah beroperasi, padahal cadangan eksisting nikel Indonesia saat ini adalah sekitar 5,3 miliar ton.
Dengan asumsi 190 smelter bakal beroperasi dan kebutuhan bijih nikel bakal meningkat tiga kali lipat, Kementerian ESDM memproyeksikan industri nikel berisiko selesai 4—5 tahun ke depan bila tidak ada tambahan cadangan.
Bloomberg melaporkan beberapa smelter yang lebih kecil di Jawa telah memangkas produksi ke tingkat minimum atau berhenti sama sekali. Pabrik-pabrik tersebut, ratusan mil dari pusat penambangan nikel di Sulawesi, menghadapi biaya tambahan untuk mengirim bijih.
Tidak hanya itu, smelter yang berada di areal pertambangan nikel Indonesia juga menghadapi kesulitan, termasuk smelter Nickel Industries Ltd yang ada di kawasan industri Morowali dan dijalankan oleh Tsingshan Holding Group Co asal China tetapi terdaftar di Australia.
Beberapa pabrik peleburan di kawasan milik konglomerat itu dilaporkan membukukan kerugian setahun penuh setelah mengalami penurunan nilai pascapajak sebesar US$205 juta.
Keadaan saat ini sangat berbeda dari beberapa tahun yang lalu, ketika Indonesia melarang ekspor bijih dan memberikan perusahaan-perusahaan keringanan pajak untuk membangun industri peleburan dalam negeri.
“Sebelumnya semua orang mendapatkan pengembalian modal dalam waktu dua tahun atas investasi smelter mereka,” kata Jim Lennon, analis logam veteran di Macquarie Group Ltd. “Saat ini, industri tersebut tidak punya uang untuk mereka.” — Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi (red/wdh)
Sumber: bloombergtechnoz.com, 6 Maret 2025