Nikel Lanjut Bearish, APNI Desak Pemerintah Perketat Produksi

ASOSIASI Penambang Nikel Indonesia (APNI) mendesak pemerintah untuk mengendalikan produksi bijih nikel di tengah tren pelemahan harga yang berlanjut sampai pertengahan tahun ini.

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin mengatakan tren pelemahan harga nikel itu disebabkan karena pasokan berlebih atau oversupply bijih nikel di pasar.

Menurut Meidy, pemerintah mesti mengatur lebih ketat rencana produksi bijih nikel dan turunannya untuk menjaga harga bagi kelanjutan penambangan saat ini.

“Kita tidak bisa hanya fokus menambah kapasitas tanpa memperhatikan permintaan, saatnya pemerintah melakukan kontrol produksi,” kata Meidy lewat keterangan resmi, Kamis (31/7/2025).

Menyitir data riset, Meidy menambahkan, lebih dari separuh pasokan nikel dunia berasal dari Indonesia. Hanya saja, kata dia, permintaan global dari sektor baterai dan stainless steel masih lemah.

Situasi itu, menurut dia, mendorong harga nikel melandai sampai saat ini. Konsekuensinya, margin operasi untuk hulu tambang makin sempit.

“Saatnya pemerintah menyesuaikan arah hilirisasi,” tuturnya.

Selain pengendalian produksi, APNI turut mendorong penerapan standar ESG nasional sebagai bentuk komitmen terhadap praktik pertambangan berkelanjutan.

Langkah ini juga penting untuk mempertahankan akses pasar ekspor, terutama ke negara-negara yang menuntut transparansi lingkungan dan sosial.

APNI berharap pemerintah dapat meninjau ulang kebijakan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB), harga patokan mineral (HPM) serta arah hilirisasi nikel nasional.

Adapun, nikel diperdagangkan di harga US$15.021 per ton pada Kamis (31/7/2025) di London Metal Exchange (LME), terkoreksi 1,93% dari penutupan perdagangan sebelumnya.

Harga nikel sempat mencapai rekor di atas US$100.000 per ton pada Maret 2022 akibat short squeeze pasar, tetapi sejak itu harga menurun tajam.

Sepanjang 2024, harga menyentuh rekor terendah dalam 4 tahun terakhir setelah sebelumnya diproyeksikan mencapai US$18.000/ton, turun dari perkiraan sebelumnya di level US$20.000/ton, menurut lengan riset dari Fitch Solutions Company, BMI.

Gejala ambruknya harga nikel sudah terdeteksi sejak 2023. Rerata harga saat itu berada di angka US$21.688/ton atau terjun bebas 15,3% dari tahun sebelumnya US$25.618/ton. Kemerosotan itu dipicu oleh pasar yang terlalu jenuh ditambah dengan lesunya permintaan.

Menurut data Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), saat ini terdapat 27 proyek smelter HPAL dengan kebutuhan total 150,3 juta ton bijih nikel.

Perinciannya; sebanyak 5 sudah beroperasi dengan kebutuhan 48,2 juta ton bijih nikel, 3 masih dalam tahap konstruksi dengan taksiran kebutuhan 33,6 juta ton bijih, dan 19 masih dalam tahap perencanaan dengan estimasi kebutuhan 68,5 juta ton bijih.

Total proyek smelter nikel di Indonesia mencapai 147 proyek dengan estimasi total kebutuhan bijih 735,2 juta ton. Sementara itu, RKAB nikel yang disetujui untuk 2025 mencapai 364 juta ton, naik dari tahun lalu sebanyak 319 juta ton.

ESDM Komentari Harga Nikel

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sempat menyoroti tren pelemahan harga nikel sebagai penyebab utama tumbangnya sejumlah lini produksi di berbagai pabrik pemurnian nikel.

Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batu Bara (Minerba) Tri Winarno berpendapat harga nikel yang bertahan di zona bearish saat ini memaksa sejumlah pabrikan menghentikan lini produksinya.

“Jadi dinamika ini yang menjadikan beberapa perusahaan [smelter nikel] pada akhirnya memutuskan untuk beberapa men-shutdown,” kata Tri di sela konferensi pers Perbaikan Tata kelola Sektor Pertambangan, di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (24/7/2025).

Di sisi lain, Tri juga berpandangan impor nikel Indonesia yang terus bertambah sebenarnya bukan hal negatif, tetapi justru bisa memperpanjang usia cadangan nikel di dalam negeri.

Namun demikian, dia berjanji akan tetap memastikan bahwa impor yang dilakukan merupakan barang mentah atau bijih, bukan hasil dari hilirisasi nikel.

“Malah kita bisa memperpanjang usia cadangan kita, memperpanjang usia umur dari nikel itu sendiri menjadi lebih panjang dibandingkan dengan apabila kita mengonsumsi dengan menggunakan nikel kita,” tuturnya. (naw)

Sumber:

– 31/07/2025

Temukan Informasi Terkini

Naik 4%, Pendapatan PTBA Sentuh Rp20,45 Triliun di Semester I 2025

baca selengkapnya

Ini Strategi PT Timah (TINS) Menjaga Bisnis Tumbuh Berkelanjutan

baca selengkapnya

Laba Bersih Semester I Anjlok 32%, Vale Kejar Kinerja Paruh Kedua

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top