PARA pelaku usaha di sektor mineral dan batubara menyatakan keberatan terhadap rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menaikkan tarif royalti mineral dan batubara (minerba).
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq mengungkapkan bahwa pihaknya belum menerima surat keberatan secara resmi dari asosiasi pelaku usaha pertambangan.
“Kalau baca di berita sih ada ya (keberatan). Tapi saya belum menerima surat keberatan secara resmi,” kata Julian kepada Kontan, Minggu (16/3).
Menurut Julian, apabila Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur kenaikan tarif royalti telah ditandatangani, maka aturan tersebut tetap akan diberlakukan.
Kementerian ESDM telah menggelar rapat dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Sekretariat Negara, sehingga implementasi kebijakan ini tinggal menunggu pengesahan Peraturan Pemerintah (PP).
Asosiasi Minta Penundaan
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, mengatakan bahwa pelaku usaha keberatan dan meminta pemerintah menunda rencana kenaikan tarif royalti.
Ia menekankan pentingnya diskusi yang lebih komprehensif dengan pelaku usaha mengenai dampak kebijakan ini.
“Iya, setahu saya beberapa asosiasi seperti IMA, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), dan Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) telah mengajukan surat ke pemerintah agar rencana tersebut ditunda karena sangat memberatkan pelaku usaha. IMA mengajukan surat keberatan ke Kementerian ESDM,” ujar Hendra.
Hendra menjelaskan bahwa surat keberatan tersebut menguraikan dampak kenaikan tarif royalti, mulai dari sektor hulu hingga hilir.
Di sektor hulu, kenaikan royalti dapat menghambat investasi eksplorasi, yang pada akhirnya memengaruhi keberlanjutan pasokan mineral untuk hilirisasi dalam jangka panjang.
“Tanpa eksplorasi, maka pasokan untuk mendukung peningkatan nilai tambah mineral (hilirisasi) akan terpengaruh dalam jangka panjang,” tambahnya.
Lebih lanjut, Hendra mengatakan bahwa kebijakan ini akan semakin membebani perusahaan pertambangan.
“Tahun ini saja, sejak Januari hingga sekarang, beban biaya terus meningkat. Ada kebijakan B40, kenaikan suku bunga akibat aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE), Global Minimum Tax 15% bagi perusahaan yang mendapat tax holiday, kenaikan PPN menjadi 12%, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5%, serta potensi kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) lainnya,” ungkapnya.
Selain itu, harga komoditas unggulan seperti batubara juga terkena dampak kebijakan Harga Batubara Acuan (HBA), di mana harga jual domestik ke PLN masih dipatok di angka US$70 per ton.
Dampak Kenaikan Royalti terhadap Daya Saing
Menurut Hendra, tarif royalti di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara produsen mineral lainnya.
“Tarif royalti kita kurang kompetitif dibanding negara lain,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa setiap kenaikan royalti dan pajak akan semakin menekan margin usaha pelaku industri, terutama di tengah tren penurunan harga komoditas dan kenaikan biaya operasional.
Dewan Penasihat Pertambangan APNI Djoko Widajatno, juga menyatakan bahwa pihaknya masih menunggu masukan dari para anggota untuk didiskusikan dalam pertemuan di Hotel Sultan.
Menurut Djoko, kenaikan tarif royalti minerba akan berdampak signifikan terhadap industri pertambangan di Indonesia, termasuk meningkatnya biaya produksi, menurunnya daya saing, berkurangnya investasi, serta meningkatnya harga komoditas.
Djoko menambahkan bahwa APNI telah mengajukan permohonan penundaan kenaikan tarif royalti karena beban biaya yang terus meningkat akibat berbagai kebijakan, seperti kenaikan B40, PPN, aturan DHE, dan kenaikan PNBP di sektor kehutanan.
pihak.
“Agar ditemukan tarif royalti yang pas, sehingga tercipta win-win solution,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menilai, keberatan yang diajukan oleh asosiasi pelaku usaha adalah hal yang wajar.
“Kondisi industri pertambangan saat ini memang sedang tidak baik, baik karena faktor global maupun kebijakan dalam negeri yang semakin memberatkan,” ujarnya.
Menurut Bisman, meskipun pemerintah membutuhkan tambahan pendapatan negara, namun waktu penerapan kebijakan ini kurang tepat.
Perbandingan Tarif Royalti Indonesia dengan Negara Lain
Menurut data IMA, berikut adalah perbandingan tarif royalti mineral di Indonesia dengan negara lain:
Tembaga (Ore):
· Indonesia: 3,75% – 10%
· Filipina: 4%
· Australia: 2,5% – 7,5%
· Kanada: 1% – 17% (berbasis penghasilan bersih)
· Brasil: 2%
Tembaga (Konsentrat):
· Indonesia: 4%
· Filipina: 4%
· Australia: 2,5% – 7,5%
· Kanada: 1% – 17%
· Brasil: 2%
Nikel (Ore):
· Indonesia: 10%
· Filipina: 5% – 7%
· Australia: 5% – 7,5%
· Kanada: 5% – 13%
· Brasil: 2% – 5%
Usulan Perubahan Tarif Royalti PP 26/2022
Berikut adalah usulan perubahan tarif royalti minerba dalam revisi PP 26/2022:
· Tembaga (Ore): dari 5% menjadi 10% – 17%
· Tembaga (Konsentrat): dari 4% menjadi 7% – 10%
· Tembaga (Katoda): dari 2% menjadi 4% – 7%
· Emas: dari 3,75% – 10% menjadi 7% – 16%
· Nikel (Ore): dari 10% menjadi 14% – 19%
· Nikel (Matte): dari 2% (dengan tambahan 1% windfall) menjadi 4,5% – 6%
· Nikel (FENI): dari 2% menjadi 4% – 5%
Nikel (NPI): dari 5% menjadi 5% – 7%.
Sumber: industri.kontan.co.id, 17 Maret 2025