Wacana pemerintah membuka opsi pengetatan DMO batubara tahun depan dinilai dapat menekan kinerja emiten sektor batubara di tengah rencana pemangkasan produksi nasional dan tren harga global yang masih melemah.
Asal tahu saja Pemerintah membuka kemungkinan untuk menaikkan porsi kewajiban pemenuhan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) lebih dari 25% dari total produksi pada 2026.
Kebijakan ini dinilai perlu dikaji secara komprehensif dan proporsional, termasuk mengenai harga patokan DMO, guna memastikan keadilan untuk semua perusahaan tambang.
Harry Su Managing Director Research & Digital Production Samuel Sekuritas Indonesia menyebut bahwa kenaikan porsi DMO berpotensi menekan profitabilitas emiten sektor batubara, seperti PTÂ Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO), PTÂ Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT. Bukit Asam Tbk (PTBA), PTÂ United Tractors Tbk (UNTR), dan PTÂ Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI).
Hal ini sebab, harga jual DMO jauh lebih rendah daripada harga ekspor. Menurutnya, dampaknya akan paling terasa bagi ADRO, ITMG, AADI yang porsi ekspornya tinggi.
Sementara PTBA relatif neutral karena portofolionya memang dominan domestik dan dekat dengan PLTU mulut tambang. Untuk UNTR, dampaknya lebih tidak langsung-profit turunan bisa terjadi melalui segmen jasa tambang PAMA jika aktivitas produksi klien ikut menurun.
Selain itu, belakangan wacana kenaikan porsi DMO batubara mencuat seiring rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk memangkas produksi batubara pada tahun depan.
Hal ini tak lepas dari harga emas hitam global yang lesu imbas ketidakseimbangan kebutuhan pasar dengan suplai batu bara dari Indonesia.
Kata Harry, sentimen pemangkasan produksi dapat berdampak negatif pada emiten yang tengah melakukan ekspansi untuk menaikkan produksi seperti PTBA.
“Di lain sisi, penurunan supply dapat berpotensi menjadi cushion harga di tengah kenaikan produksi domestik China,” ujar Harry kepada Kontan, Jumat (5/12/2025).
Dicatat persediaan batubara di China tetap tinggi sebesar 714 juta ton pada Oktober 2025, yang mana rata-rata 5 tahun sebelumnya sebesar 428 juta ton. Hal ini menyebabkan impor batubara 10 bulan pertama tahun 2025 turun 11% yoy.
“Dengan stok yang tinggi dan meningkatnya output energi terbarukan, kami memperkirakan harga batubara akan tetap tertekan dalam 6- 12 bulan ke depan,” jelas Jacquelin Hamdani dan Edward Halim Analis CGS Internasional Sekuritas dalam risetnya, Senin (24/11/2025).
Dengan kondisi tersebut, Jacquelin dan Edward menurunkan perkiraan laba bersih full year 2026 untuk UNTR, ITMG dan PTBA sebesar 13%. Ini mencerminkan harga batubara yang lebih lemah secara yoy dan biaya yang lebih tinggi, terutama biaya bahan bakar. Adapun AADI, diestimasi laba bersihnya akan naik pada keseluruhan tahun 2026 karena ASP yang sedikit lebih baik.
Sebaliknya, Erinda Krisnawan dan Kafi Ananta Analis BRI Danareksa Sekuritas menyampaikan harga batubara Indonesia telah rebound sejak akhir 2025.
Kondisi ini dipimpin oleh produk CV menengah-rendah (ICI3 dan ICI4, masing-masing naik 17% dan 20% sejak titik terendah pada Juni 2025). Sementara CV menengah dan tinggi juga telah pulih 4%-16% dari level terendah.
Sementara itu, data terbaru menunjukkan bahwa total level persediaan hanya terkoreksi sedikit dan tetap jauh di atas level historis, sehingga masih berpotensi membatasi keberlanjutan pemulihan harga hingga 2026.
“Pemulihan harga ini didorong oleh restocking persediaan di pelabuhan China, sejalan dengan pola musiman,” jelas Erinda dan Kafi dalam riset, Kamis (27/11/2025).
Terakhir, Harry pun menekankan bahwa soal kinerja emiten sektor batubara kemungkinan secara QoQ akan ada perbaikan seiring dengan kenaikan harga batubara menjelang antisipasi winter season.
Namun memasuki 2026, kinerja sektor batubara diperkirakan Harry akan mixed di mana harga batubara masih akan tertekan seiring dengan kenaikan produksi domestik dari China dan India namun ada beberapa perusahaan yang menaikkan volume produksi untuk mengantisipasi hal tersebut.
Dengan ragam potensi dan sentimen di atas, Harry merekomendasikan investor untuk mencermati sejumlah emiten sektor batubara di atas.
Dia beri rekomendasi beli saham PTBA dengan target harga Rp 2.160 per saham. Kemudian beli UNTR dengan target harga Rp 30.700 per saham. Beli saham ADRO dengan target harga Rp 2.500 per saham. Tak ketinggalan beli AADI dengan target harga Rp 12.200 per saham.
Kemudian Erinda dan Kafi merekomendasikan investor untuk beli AADI dengan target harga Rp 9.850 per saham. Beli ADRO dengan target harga Rp 2.630 per saham. Beli ITMG dengan target harga Rp 27.300 per saham. Kemudian beli PTBA dan UNTR dengan target harga masing-masing Rp 3.100 dan Rp 32.000 per saham.
Sedang Jacquelin dan Edward merekomendasikan investor untuk reduce (mengurangi porsi saham) PTBA dan ITMG dengan masing-masing target harga Rp 1.700 dan Rp 20.800 per saham.
