Penambang Nikel Tercekik 4 Kebijakan Baru Pemerintah di Awal 2025

ASOSIASI Penambang Nikel Indonesia (APNI) menjerit karena empat kebijakan baru pemerintah yang ditetapkan pada awal 2025 ini.

Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey dalam rapat pleno bersama Baleg DPR RI terkait Revisi Undang-Undang (RUU) Mineral dan Batubara (Minerba), Rabu (22/11/2025).

Dia mengatakan, kebijakan pertama yang membuat pengusaha menjerit adalah penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) 12%. Meidy menyebut para penambang di APNI sudah melakukan penambang secara puluhan tahun dan memiliki pengalaman serta finansial, tetapi baru pada 2025 merasa kesulitan dengan kenaikan PPN.

“Di awal tahun kami dibuka dengan PPN 12% yang sangat berdampak kepada pertambangan. Karena alat berat itu masuk dalam barang mewah yang akhirnya harga alat berat itu sudah naik,” kata Meidy.

Kebijakan kedua yang membuat menjerit adalah terkait dengan penerapan BBM biosolar B40. Meidy mengatakan implementasi campuran bahan bakar nabati berbasis sawit tersebut akan menyebabkan kenaikan biaya produksi bahan bakar.

“Minggu kedua di Januari kami didampak lagi dengan B40. Mau nggak mau kami cost produksi bertambah,” jelasnya.

Kebijakan ketiga, yakni pembaruan aturan mengenai devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA). Masa simpan DHE diperpanjang dari minimal 3 bulan menjadi 1 tahun.

“Di minggu ketiga, barusan ini kami ditambah lagi dengan DHE hasil ekspor 100% 1 tahun. Cost-nya makin bertambah,” ujar Meidi.

Sementara kebijakan keempat adalah mengenai royalti untuk nikel yang akan ditingkatkan oleh pemerintah dari yang sebelumnya 10% menjadi 15%. Meidy menilai kebijakan ini akan mengurangi keuntungan dari penambang.

“Kemarin kami dapat isu lagi royalti yang tadi saya sebut 10% akan naik 15%,” katanya.

Lebih lanjut, Meidy mengatakan, selain dengan kebijakan dari pemerintah, harga nikel dunia yang mengacu pada London Metal Exchange (LME) juga sedang mengalami tren penurunan. Oleh karena itu, hal ini mengurangi pendapatan penambang dan menambah beban.

Imbas berbagai aspek kebijakan itu, Meidy mengaku beberapa perusahaan yang sudah mendapatkan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) memilih untuk tidak melakukan penambangan.

“Beberapa tambang yang dapat RKAB tidak mau produksi, Bapak-Ibu. Kenapa? Karena cost produksi naik, tapi penjualannya makin turun,” ujarnya. Editor : Denis Riantiza Meilanova

Sumber: ekonomi.bisnis.com, 22 Januari 2025

Temukan Informasi Terkini

Laba Sepanjang 2024 Naik 46%, Ini Daftar Program Prioritas MIND ID Sepanjang 2025

baca selengkapnya

Selangkah Lagi UKM Dapat Jatah Tambang, Siapa yang Layak?

baca selengkapnya

PT Gag Nikel Masih Belum Beroperasi di Raja Ampat Meski Tidak Dicabut Izinnya

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top