Pengusaha Kritik Wacana Bea Keluar Batu Bara Kurang Tepat

Pengusaha menilai wacana pengenaan bea keluar untuk batu bara yang rencananya berlaku 2026 kurang tepat.

Hal ini merespons pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tidak peduli dengan protes pengusaha dan memastikan batu bara akan dikenai bea keluar pada 2026. Dia menilai bahwa kontribusi penerimaan negara dari sektor ini masih relatif kecil dibandingkan produk pertambangan lain.

Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Hendra Sinadia pun menyebut, sejatinya kebijakan bea keluar bukan untuk meningkatkan pendapatan negara. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor.

Hendra menjelaskan, dalam PP tersebut pengenaan bea keluar bertujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian sumber daya alam, hingga mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditas ekspor tertentu di pasaran internasional.

Artinya, jika pemerintah ingin menambah pendapatan negara caranya bukan dengan pengenaan bea keluar.

“Harusnya bea keluar itu bukan untuk penerimaan negara. Kalau penerimaan negara kan ada royalti apa segala, sudah ada PNBP [penerimaan negara bukan pajak]. Jadi kurang tepat sih, enggak tepat itu bea keluar diterapkan,” jelas Hendra di Jakarta, Kamis (27/11/2025).

Adapun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, bea keluar untuk batu bara akan berlaku saat harga emas hitam sedang tinggi saja. Sementara itu, tatkala harga rendah, bea keluar tidak diberlakukan.

Hendra pun menilai wacana itu juga tetap tidak tepat. Sebab, apapun bentuknya pengenaan bea keluar tidak bertujuan untuk menambah penerimaan negara.

“Intinya adalah itu sebenarnya kurang tepat. Kalau instrumen penerimaan negara harus mengacu ke PP Nomor 55 Tahun 2008,” kata Hendra.

Dia menyebut, saat ini pengusaha juga dihadapkan dengan sejumlah tantangan. Misalnya, biaya produksi yang tinggi. Oleh karena itu, wacana pengenaan bea keluar berpotensi menambah beban tersebut. Apalagi, harga batu bara sedang lesu.

“Ya pasti harus dihitung ulang lagi cost-nya. Ini kan beban biayanya sudah tinggi, harga rendah,” tutur Hendra.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyadari rencana pungutan ekspor ini akan mendapat resistensi dari pelaku usaha pertambangan. Hanya saja, dia menekankan perlunya evaluasi proporsional terhadap penerimaan negara dari sumber daya alam.

“Semua perusahaan batu bara pasti menolak, orang dikasih tarif ekspornya. Tapi kan begini, sebagian dari kita melihat dibanding barang tambang lain, misalnya minyak, kan batu bara lebih sedikit yang dibayar ke pemerintah,” ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (26/11/2025).

Purbaya kemudian membandingkan beban pungutan batu bara dengan skema production sharing contract (PSC) minyak dan gas (migas). Menurutnya, dalam skema PSC, pemerintah bisa mendapatkan porsi bagi hasil hingga 85%, sedangkan kontraktor hanya 15%.

Sementara itu, kewajiban yang dibayarkan pengusaha batu bara saat ini dinilai jauh di bawah persentase tersebut. Oleh sebab itu, Purbaya optimistis ruang fiskal untuk meningkatkan pungutan dari sektor ‘emas hitam’ ini masih terbuka lebar tanpa harus mematikan pelaku usaha. Editor : Denis Riantiza Meilanova

Sumber:

– 27/11/2025

Temukan Informasi Terkini

Berita Harian, Jumat, 05 Desember 2025

baca selengkapnya

180 Juta Ton Batu Bara Dibakar di Dalam Negeri per Oktober 2025, Listrik dan Semen Terbesar

baca selengkapnya

BUMI Produksi 54,9 Juta Ton Batu Bara hingga Kuartal III/2025

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top