Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menilai rencana penerapan bahan bakar biodiesel B50 akan meningkatkan beban biaya operasional sektor pertambangan secara signifikan.
Ketua Umum Perhapi Sudirman Widhy mengatakan, selain harga yang lebih tinggi, penggunaan B50 juga berpotensi menimbulkan persoalan teknis pada peralatan tambang.
Harga biodiesel B50 secara umum diperkirakan akan lebih mahal sekitar 10% dibandingkan B40 karena komponen FAME (fatty acid methyl ester), bahan baku biodiesel, memiliki harga lebih tinggi daripada solar murni.
Terlebih, konsumsi bahan bakar juga akan meningkat sekitar 3–5% dibandingkan B40 sehingga memperbesar ongkos operasional.
“Concern utama dari para pengusaha tambang, terutama yang mengoperasikan peralatan besar adalah penggunaan B50 akan menambah biaya perawatan [maintenance] peralatan pertambangan cukup besar,” kata Sudirman kepada Bisnis, Rabu (5/11/2025).
Menurut dia, dampak penggunaan biodiesel di sektor tambang perlu dievaluasi lebih dulu sebelum pemerintah melanjutkan ke tahap B50.
Sejumlah perusahaan tambang telah melaporkan kenaikan biaya signifikan sejak penerapan B40, termasuk hangusnya garansi pabrik untuk peralatan baru karena bahan bakar tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi mesin yang direkomendasikan produsen.
Untuk itu, kebijakan B50 harus dikaji secara menyeluruh karena tidak memberikan manfaat langsung bagi industri tambang, melainkan hanya menambah beban biaya.
Menurut Sudirman, jika alasan utamanya adalah pengurangan emisi, maka perlu ada perhitungan yang jelas dan terukur terkait manfaat lingkungan yang dihasilkan.
“Kalau dianggap lebih ramah lingkungan, maka kita harus bisa mengklaim berapa besar emisi yang bisa direduksi dengan penggunaan B50 dibandingkan solar murni,” terangnya.
Di sisi lain, dia juga menyoroti potensi dampak kebijakan ini terhadap rantai pasok industri sawit dalam negeri. Menurutnya, alokasi minyak sawit mentah (CPO) untuk kebutuhan biodiesel dapat mengurangi peluang ekspor bagi produsen maupun petani sawit.
“Produsen dan petani sawit pun menolak kebijakan B50 dengan alasan hilangnya potensi ekspor karena harus dialokasikan untuk kebutuhan biosolar di dalam negeri,” pungkasnya. Editor : Denis Riantiza Meilanova
