Industri pertambangan sering kali menghadapi paradoks. Mineral esensial seperti nikel, tembaga, dan litium sangat dibutuhkan untuk transisi energi, namun proses penambangannya kerap dikaitkan dengan kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Kondisi ini mendorong lahirnya konsep responsible mining atau pertambangan yang bertanggung jawab.
Dalam sebuah sesi dengan media pada Senin, 25 Agustus 2025, Paul Marchive, Head of Exploration & Business Development Eramet Indonesia, menegaskan bahwa keberlanjutan harus dimulai sejak tahap eksplorasi.
“Kegiatan pertambangan selalu diawali dengan studi awal untuk mengidentifikasi sumber daya. Pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah, di mana ada sumber daya yang bisa ditambang?” ujarnya dikutip Selasa (2/9/2025).
Eksplorasi dan Keberlanjutan
Menurut Paul, eksplorasi tidak hanya menentukan keberhasilan proyek, tetapi juga penting untuk perencanaan industri nasional. “Kalau tidak tahu berapa banyak sumber daya yang ada dan bagaimana kualitasnya, akan sangat sulit membuat rencana pengembangan industri. Pemerintah harus memastikan agar pengelolaan tidak berlebihan, karena dalam 10-20 tahun cadangan bisa habis,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa keberlanjutan juga berarti memastikan sumber daya dimanfaatkan dengan bijak.
Praktik Responsible Mining oleh Eramet
Bagi Eramet, pertambangan berkelanjutan bukan sekadar jargon. Paul menekankan pentingnya rehabilitasi yang berjalan seiring dengan proses penambangan.
“Revegetasi tidak boleh menunggu tambang selesai. Harus dilakukan seiring dengan proses penambangan. Setiap lubang yang selesai ditambang harus segera direhabilitasi agar tidak menimbulkan erosi,” jelasnya.
Paul mengakui bahwa praktik pasca-tambang masih menjadi pekerjaan rumah besar di Indonesia. “Dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan, tantangan terbesar adalah bagaimana perusahaan menutup tambangnya dengan baik. Tambang akan tetap ada ratusan tahun setelahnya. Itu bukan tanggung jawab pemerintah, tetapi perusahaan,” tegasnya.
Konsep responsible mining juga terlihat dalam cara Eramet mengelola interaksi sosial. “Setiap kali tiba di suatu lokasi, langkah pertama kami adalah menemui kepala desa, berbicara dengan masyarakat, dan menjelaskan apa yang akan kami lakukan. Biasanya mereka menghargai ketika kami datang untuk berdialog,” tutur Paul.
Sumber data: Pemaparan mater Eramet saat Journalist Class 25 Agustus 2025
Sulit Menyebut Pertambangan Berkelanjutan
Pandangan kritis datang dari Jalal, Founder A+ CSR Indonesia dan pakar keberlanjutan. Menurutnya, masih terlalu dini untuk menyebut pertambangan benar-benar berkelanjutan.
“Saya agak sungkan untuk bilang pertambangan itu berkelanjutan. Kayaknya belum bisa. Tapi kalau pertambangan yang bertanggung jawab, iya, itu mungkin,” ungkapnya.
Jalal menjelaskan bahwa istilah pertambangan berkelanjutan sering bercampur dengan konsep Environmental, Social, and Governance (ESG).
“Keberlanjutan itu soal dampak perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan. Sementara ESG lebih kepada bagaimana isu-isu lingkungan, sosial, dan tata kelola dikelola agar kinerja finansial perusahaan tetap terjaga. Jadi ini dua hal yang berbeda, walaupun terkait,” jelasnya.
Eramet Gunakan Pendekatan Double Materiality
Menurut Jalal, perusahaan seperti Eramet yang berbasis di Eropa cenderung menggunakan pendekatan double materiality, yaitu melihat dampak keluar sekaligus mengelola isu eksternal yang berpengaruh pada bisnis.
“Itulah yang sebenarnya dimaksud dengan pertambangan yang bertanggung jawab,” katanya.
Antara Paradoks dan Tuntutan Global
Jalal menekankan bahwa dunia tidak bisa lepas dari pertambangan, terutama untuk mendukung transisi energi. “Kita mustahil selamat tanpa pertambangan. Tapi kontribusinya terhadap perubahan iklim dan kerusakan hutan juga besar. Jadi, kalau pertambangan bisa terus meningkatkan kinerjanya dan mengurangi dampak negatifnya, reputasinya akan jauh lebih baik,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa social license to operate atau dukungan masyarakat jauh lebih penting dibanding izin formal. Komitmen dan Sertifikasi Berkelanjutan Eramet
Komitmen keberlanjutan Eramet dituangkan dalam peta jalan global bertajuk “Act for Positive Mining”. Peta jalan ini memiliki 13 tujuan untuk 2024–2026 dan target jangka panjang hingga 2035, yang berfokus pada tiga pilar utama: Care for People, Trusted Partner for Nature, and Transform Our Value Chain.
Sebagai bagian dari strategi tersebut, Eramet meluncurkan inisiatif Eramet Beyond untuk mendukung kegiatan sosial dan ekonomi di wilayah operasinya, termasuk di Indonesia. Program ini mendorong diversifikasi ekonomi, pemberdayaan masyarakat, hingga penguatan ketahanan lingkungan.
Beberapa inisiatif nyata yang telah dijalankan, antara lain:
Program LAKSMI bersama Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB), yang mendukung 600 wirausaha perempuan ultra mikro di Jakarta dan Ternate.
Program beasiswa Kitong Bisa Foundation (KBF) bagi 42 mahasiswa dari Maluku Utara, Papua, dan Sulawesi, yang mencakup biaya pendidikan dan biaya hidup.
Selain itu, Eramet berkomitmen mengurangi emisi karbon sebesar 40% pada 2035 dan mencapai carbon neutrality pada 2050. Di Indonesia, Weda Bay Nickel (WBN) telah memperkenalkan truk listrik untuk operasional tambang sejak 2024.
Tahap pasca-tambang difokuskan pada rehabilitasi lahan, revegetasi dengan topsoil yang disimpan sejak awal penambangan, serta pemulihan ekosistem. Eramet juga melakukan pemantauan kualitas air, keanekaragaman hayati, hingga dampak sosial secara jangka panjang.