PT Bukit Asam Tbk (PTBA) kian tertekan oleh kombinasi melemahnya harga batu bara dan biaya produksi yang tak kunjung turun. Program biodiesel B40, kenaikan royalti, serta tarif angkutan kereta api membuat perseroan gagal menekan cash cost, sehingga margin dan laba tergerus tajam.
“Kenaikan beban pokok penjualan dipicu oleh beberapa faktor seperti harga bahan bakar naik sekitar 5% seiring penerapan B40, peningkatan tarif PT KAI sebesar 4% per tahun, kenaikan royalti, serta stripping ratio yang membengkak dari 5,9 menjadi 6,17,” jelas Direktur Keuangan PTBA Una Lindasari, Kamis (11/9/2025).
Linda mengatakan bahan bakar biodiesel B40 dipakai di seluruh aktivitas operasi maupun transportasi dengan PT KAI. Terlebih saat ini, kontrak dengan PT KAI adalah dry contract, yaitu bahan bakar atau fuel dibebankan kepada PTBA.
“Komponen terbesar yang menekan laba adalah COGS. Untuk EBITDA, dampaknya terutama berasal dari penurunan laba bersih, karena harga jual mengikuti harga pasar dan keterbatasan ruang bagi kami untuk menjual di atas Harga Patokan Batu Bara (HPB) sesuai aturan terbaru,” ujarnya.
Sebagai informasi, sepanjang Januari–Juni 2025, laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik induk anjlok 60,98% secara tahunan (YoY) menjadi Rp962,26 miliar, jauh di bawah torehan pada semester I-2024.
Padahal dari sisi pendapatan, emiten tambang batu bara milik negara ini masih mencatat pertumbuhan. Pendapatan PTBA naik 4,12% YoY menjadi Rp20,45 triliun dari Rp19,64 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Namun, beban pokok pendapatan melesat lebih cepat, tumbuh 12,11% YoY menjadi Rp18,21 triliun. Lonjakan ini memangkas laba kotor 33,99% menjadi Rp2,25 triliun dari sebelumnya Rp3,4 triliun. Akibatnya, margin laba kotor susut ke 11% per 30 Juni 2025 dari 17,3% setahun lalu.
Selain beban produksi, laba PTBA juga ditekan biaya umum dan administrasi yang naik 9,10% YoY menjadi Rp1,01 triliun, serta penghasilan lain-lain yang anjlok 83,42% menjadi Rp67,62 miliar akibat rugi selisih kurs. (dhf)