Rampasan Korupsi Timah, Prabowo Temukan LTJ Monasit Rp132 Triliun

Presiden Prabowo Subianto menemukan kandungan logam tanah jarang (LTJ) monasit sekitar 40.000 ton pada rangkaian penertiban tambang ilegal di kawasan izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk (TINS).

Menurut hitung-hitungan Prabowo, 1 ton monasit memiliki nilai pasar sekitar US$200.000 atau sekitar Rp3,31 miliar (asumsi kurs Rp16.585 per dolar AS).

Dengan demikian, potensi pendapatan negara dari 40.000 ton monasit yang diselamatkan dari tambang ilegal itu mencapai sekitar Rp132,68 triliun.

“Total ditemukan puluhan ribu, mendekati 40.000 ton (monasit], kita bisa bayangkan kerugian negara,” kata Prabowo kepada awak media saat penyerahan aset rampasan negara di smelter PT Tinindo Internusa, Kecamatan Bukitintan, Kota Pangkal Pinang, Senin (6/10/2025).

Monasit merupakan salah satu mineral LTJ  ikutan yang berasal dari kegiatan penambangan bijih timah. LTJ seperti monasit digunakan sebagai bahan baku produk elektronik seperti televisi, laptop, telepon genggam, dan sebagainya.

Monasit juga dapat digunakan sebagai bahan pembuatan solar cell atau panel surya, baterai isi ulang, dan fuel cell atau sel bahan bakar.

Dalam rangkaian penertiban tambang ilegal itu, Prabowo menyerahkan enam smelter timah dan aset rampasan korupsi lainnya dengan nilai sekitar Rp7 triliun kepada TINS.

Prabowo menerangkan enam smelter dan sejumlah aset lainnya itu hasil rampasan penegak hukum dari perusahaan swasta yang melakukan penambangan ilegal dan tindak pidana korupsi di kawasan IUP TINS.

“Ini suatu bukti bahwa pemerintah serius, kita bertekad membasmi penyelundupan, membasmi ilegal mining, membasmi semua yang melanggar hukum,” tuturnya.

Selain enam smelter, sejumlah aset yang diserahkan ke TINS di antaranya alat berat 108 unit; peralatan tambang 195 unit; logam timah 680.687,6 kilogram; 22 bidang tanah seluas 238.848 meter persegi; satu unit gedung mess.

Adapun, potensi pendapatan tahunan jika seluruh aset ini dioperasikan mencapai Rp4,6 triliun.

Tersangka Korporasi 

Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan lima korporasi pengelola pabrik smelter bijih timah sebagai tersangka dalam kasus korupsi tata kelola pada wilayah IUP TINS periode 2015-2022.

Hal ini dilakukan untuk menagih tanggung jawab kerusakan lingkungan hidup atas praktik tambang timah ilegal yang tercatat mencapai Rp271 triliun.

“Perusahaan timah ada 5 korporasi yang akan kami jadikan dan hari ini akan diumumkan ya perkaranya hari ini diumumkan bahwa perkara ini dalam tahap penyidikan,” kata Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Kamis (2/12/2024).

Lima perusahaan tersebut antara lain, PT Refined Bangka Tin (RBT); PT Stanindo Inti Perkasa (SIP); PT Sariwiguna Bina Sentosa (SB); CV Venus Inti Perkasa (VIP); dan PT Tinindo Inter Nusa (TIN). Para pejabat dan pemilik lima perusahaan ini telah lebih dulu menjadi tersangka.

Dalam kasus ini, kejaksaan berdasarkan bantuan perhitungan ahli lingkungan hidup serta badan pengawasan keuangan dan pembangunan menetapkan dugaan kerugian negara dari korupsi di IUP PT Timah Tbk mencapai Rp300,3 triliun.

Sebesar Rp271 triliun di antaranya adalah kerusakan alam akibat tambang ilegal di wilayah Bangka Belitung.

Sedangkan sisanya, diduga dinikmati perorangan termasuk 22 tersangka dalam kasus tersebut. Misalnya, Harvey Moeis dan Helena Lim yang dalam dakwaan diduga menikmati Rp420 miliar dari korupsi Timah.

Secara lebih detail, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Andriansyah mengatakan, PT RBT menjadi tersangka dan akan dijerat ganti rugi kerusakan lingkungan sebesar Rp38,5 triliun.

PT SB akan diminta tanggung jawab sebesar Rp23,6 triliun; PT SIP sebesar Rp24 triliun; CV VIP sebesar Rp42 triliun; serta PT TIN sebesar Rp23 triliun.

Menurut dia, total ganti rugi kerusakan alam dari lima perusahaan tersebut memang baru mencapai Rp151,1 triliun. Atau, masih tersisa total kerugian negara dari rusaknya ekosistem di Bangka Belitung mencapai Rp119,9 triliun.

“Sisanya dari Rp271 triliun yang telah diputuskan hakim dan jadi kerugian negara sedang dihitung BPKP siapa yang bertanggung jawab akan kita tindak lanjuti dan disampaikan ke publik,” kata Febrie.

Lebih lanjut, dirinya mengatakan bahwa dalam kasus tersebut terdapat 3 klaster perbuatan yang mengakibatkan kerugian negara yakni kerja sama sewa alat atau smelter dari pihak swasta dengan PT Timah, transaksi timah dari PT Timah yang dilakukan pihak swasta, serta kerugian lingkungan hidup atas kerusakan ekosistem.

Menurut dia, Jaksa telah sepakat bahwa kerugian kerusakan lingkungan hidup merupakan kerugian negara dalam kualifikasi tindak pidana korupsi.

Dengan begitu, penyidik mengumpulkan bukti-bukti untuk menjerat korporasi terkait yang turut andil menyebabkan kerusakan lingkungan tersebut.

“Hasil ekspose Jaksa Agung memutuskan kerugian kerusakan lingkungan hidup akan kita bebankan ke perusahan-perusahaan sesuai kerusakan yang ditimbulkan masing-masing perusahaan dan itu sudah ada dalam putusan pengadilan,” tutur Febrie. (naw)

Sumber:

– 06/10/2025

Temukan Informasi Terkini

Rajin Akuisisi, Petrosea (PTRO) Optimistis Pendapatan Tembus US$ 1,4 Miliar di 2026

baca selengkapnya

Merdeka Gold Resource Umumkan Cadangan Emas Tambang Pani Naik 150%

baca selengkapnya

Pencarian Korban Longsor Tambang Freeport Selesai, 7 Orang Tewas dan Dievakuasi

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top