PENGUSAHA sektor pertambangan masih mencermati janji pemerintah untuk memberikan ‘kelonggaran’ dalam implementasi wajib parkir devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) sebesar 100% di perbankan domestik selama satu tahun per 1 Maret 2025.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia/Indonesian Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mengatakan sampai saat ini sikap pengusaha tambang terhadap kebijakan tersebut masih tetap skeptis.
“Ya kalau seluruh [100%] penerimaaan [pembayaran dari importir/buyer] dari penjualan ekspor harus ditempatkan di bank nasional, ya ilustrasinya seperti laki-laki kerja terus, [tetapi] 100% gajinya masuk ke rekening istri,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (23/1/2025).
Walakin, Hendra sudah mendengar tentang wacana pemerintah akan memberikan ‘kelonggaran’ dengan membolehkan pengusaha mengambil sebagian DHE-nya untuk kebutuhan biaya operasional, dengan syarat harus dikonversikan ke rupiah.
Akan tetapi, kalangan penambang masih menanti detail teknis dari wacana tersebut.
“Dengan konversi, tentu ada biaya dan juga selisih kurs. Terus terang, kami belum tahu teknisnya seperti apa. Masih simpang siur. Intinya, penambahan beban biaya akan menyulitkan eksportir,” tegasnya.
“[Akan tetapi], kalau bisa dikonversi, tentu cukup meringankan. Namun, kami belum tahu detailnya ya.”
Komponen Biaya
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso sebelumnya mengatakan pemerintah akan membolehkan adanya ‘komponen biaya’ untuk bisa menjadi faktor pengurang jumlah penyimpanan (retensi) DHE SDA yang diwajibkan di perbankan lokal.
Syaratnya, komponen biaya tersebut harus dikonversikan ke rupiah.
Gambarannya, terang Susiwijono, jika eksportir memiliki DHE SDA senilai US$100 juta, tetapi membutuhkan US$80 juta di antaranya untuk biaya operasional, maka dia dapat mengambil ‘komponen biaya’ US$80 juta tersebut untuk kebutuhan operasionalnya setelah dikonversi ke rupiah.
Dengan demikian, kewajiban penyimpanan DHE SDA bagi eksportir tersebut hanya tersisa US$20 juta selama setahun.
“Bayangannya dari ekspor US$100 juta, betul-betul US$100 juta [yang akan diparkir di rekening khusus], tidak begitu. Ada beberapa komponen biaya yang diperbolehkan untuk mengurangi retensi,” ujar Susiwijono di kantornya, Rabu (22/1/2025).
“Misalnya dia ekspor mendapatkan US$100 juta, [tetapi] perlu diambil US$80 juta untuk operasional, [itu bisa] langsung dikonversi ke rupiah. Itu nanti mengurangi kewajiban [parkir DHE]-nya. Jadi kewajiban 100% tinggal untuk US$20 juta. Kewajiban 100% tetap dapat, tetapi biaya operasional dalam rupiah tetap bisa jalan.”
Susiwijono kembali menegaskan tiga tujuan wajib parkir DHE SDA di dalam negeri selama setahun. Pertama, agar uang hasil ekspor masuk ke dalam sistem keuangan Indonesia. Kedua, agar mata uang asing dikonversi ke rupiah. Ketiga, uang hasil ekspor digunakan di Indonesia.
Namun, dia mengatakan semua hal teknis masih dalam pembahasan dengan kementerian/lembaga (k/l) terkait. Hal yang terang, kata Susiwijono, pemerintah memastikan tidak akan menganggu operasional perusahaan akibat mandatori retensi DHE SDA 100% selama satu tahun tersebut.
Regulasi DHE SDA sebelumnya mengacu pada Pemerintah No. 36/2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam. Beleid tersebut mengharuskan parkir domestik DHE SDA sebesar 30% selama 3 bulan.
Jika melanggar aturan tersebut, eksportir SDA bakal dikenakan sanksi administratif berupa penangguhan atas pelayanan ekspor. Adapun, industri berorientasi ekspor yang menjadi fokus kebijakan tersebut a.l. pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan perikanan. (wdh)
Sumber: bloombergtechnoz.com, 23 Januari 2025