ASOSIASI Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengatakan Indonesia akan mulai mengimpor bijih nikel dari Solomon dan New Caledonia pada Juni 2025.
Jika di total, kebutuhan impor bijih nikel dari Solomon, New Caledonia, dan Filipina mencapai 30 juta ton hingga akhir tahun ini.
“Sejak tahun lalu kita sudah impor bijih nikel dari Filipina, pada [Juni] akan masuk dari Solomon dan New Caledonia,” kata Meidy saat ditemui usai agenda di kawasan Grand Ballroom Hotel Kempinski, dikutip Selasa (27/5/2025).
Meidy menyebut sejumlah perusahaan nikel telah membuat kontrak impor dari kedua negara tersebut, tetapi detail volume hingga nilai impor bijih nikel tersebut belum ada.
“[Hal] yang pasti kan satu kali kan satu vessel. Berapa vessel saya belum tahu. Kalau sudah sampai baru saya tahu. New Caledonia sudah mulai masuk. Dari Solomon sudah kontrak ya. Delivery-nya kapan saya belum dapat informasi,” ujarnya.
Kebutuhan Bijih
Dia menjelaskan kebutuhan nikel hingga akhir tahun ini diperkirakan sebanyak 300 juta ton, berdasarkan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) yang telah disetujui oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Nah, smelter itu kan harus butuh buffer stock [stok pengaman]. Buffer stock itu minimal 30%. Nikel Indonesia butuh rasio silika magnesiumnya dari negara lain. Kita silika magnesiumnya kan tinggi. Jadi butuh blendingan [campuran] dari negara lain. Bukan konten nikel ya, tetapi silika magnesiumnya,” jelasnya.
Di sisi lain, Meidy juga menyebut, per April 2025, impor bijih nikel dari Filipina ke Indonesia mencapai 12 juta ton.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, volume impor bijih nikel dan konsentrat (ore nickel and concentrates) dengan kode HS 26040000 dari Filipina pada Februari 2025 sebanyak 2,38 juta ton. Angka ini naik dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebanyak 2,07 juta ton.
Selain itu, menurut International Energy Agency (IEA), tiga produsen nikel terbesar pada 2030 dari sisi pertambangan a.l. Indonesia (62%), Filipina (8%), dan New Caledonia (6%). Dari sisi smelter a.l. Indonesia (44%), China (21%) dan Jepang (6%).
Sekadar catatan, pemerintah pada Agustus 2024 resmi menetapkan RKAB nikel sebanyak 240 juta ton bijih pada 2024.
Selain itu, periode 2024-2026, Kementerian ESDM juga telah menyetujui sebanyak 292 permohonan RKAB pertambangan nikel, tetapi hanya 207 di antaranya yang diizinkan berproduksi.
Nikel diperdagangkan di US$15.594/ton hari ini di London Metal Exchange (LME), menguat 0,65% dari hari sebelumnya. Namun, harga nikel —yang mencapai puncaknya di atas US$100.000 per ton pada 2022 selama periode short squeeze yang terkenal— mengalami tren penurunan sekitar 8% tahun ini. (mfd/wdh)
Sumber: https://www.bloombergtechnoz.com, 27 Mei 2025