RI Perketat IUI Smelter, Tekan Produksi Nikel: Solusi Oversupply?

Pemangkasan produksi bijih nikel Indonesia pada 2026 menjadi 250 juta ton dan pembatasan penerbitan izin smelter nikel baru yang memproduksi produk antara atau intermediate berpotensi mengurangi sementara kelebihan pasokan nikel dunia.

Analis komoditas dan Founder Traderindo Wahyu Laksono berpandangan secara teoritis pemangkasan produksi bijih nikel tersebut akan berdampak terhadap pasokan nikel global.

Dia memprediksi stok nikel murni di pasar global akan terpangkas karena Indonesia mengurangi produksi bijih sekitar 34% dari 379 juta ton menjadi 250 juta ton. Indonesia sendiri menyumbang lebih dari 50% nikel di pasar global.

“Apakah oversupply bisa teredam? Belum pasti, tetapi ada peluang memicu rebound short term atau pun medium term setidaknya untuk2026,” kata Wahyu ketika dihubungi, Kamis (18/12/2025).

Di sisi lain, Wahyu juga menyoroti realisasi produksi bijih yang kerap berada di bawah target produksi. Dengan begitu, dia menyatakan terdapat potensi produksi bijih nikel pada 2026 berada di bawah target 250 juta ton sehingga makin menekan stok global.

“Sebagai gambaran, meski kuota 2025 tinggi, realisasi hingga akhir tahun diperkirakan hanya sekitar 300 juta ton. Jika target 2026 dipatok 250 juta ton, maka pasokan riil akan benar-benar terbatas,” ungkap dia.

Produsen nikel terbesar di dunia./dok. Bloomberg

 

Dihubungi terpisah, Ketua Badan Kejuruan Pertambangan Perhimpunan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli mencatat produksi nikel global dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.

Pada 2023, produksi nikel olahan berada di level 3,4 juta ton, 2024 di angka 3.5 juta ton, serta produksi nikel pada 2025 diprediksi mencapai 3.8 juta ton.

Dia mengkalkulasi tingkat pertumbuhan per tahun selama rentang periode tersebut (CAGR) nikel mencapai 4,2%.

Sementara itu, pada 2026, dia memprediksi produksi nikel mencapai 4 juta ton sehingga surplus global berpotensi mencapai 260.000 ton.

“Hal ini banyak dipengaruhi oleh pengurangan penggunaan LFP baterai untuk kendaraan listrik. China sendiri lebih fokus mengembangkan LFP dibandingkan dengan baterai yang berbasis nikel karena harganya yang lebih murah, hal ini menyebabkan penggunaan Nikel untuk kendaraan listrik makin berkurang,” kata Rizal ketika dihubungi, Kamis (18/12/2025).

Adapun, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) membeberkan produksi bijih nikel mentah dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) 2026 diajukan sekitar 250 juta ton, turun drastis dari target produksi dalam RKAB 2025 sebanyak 379 juta ton.

Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey menjelaskan rencana produksi bijih mentah tersebut ditetapkan lebih rendah dibandingkan dengan tahun ini demi menjaga harga nikel agar tidak makin turun.

“Rencana pemerintah gitu [produksi bijih nikel dalam RKAB 2026 sebanyak 250 juta ton]. Rencana ya. Namun, kan saya enggak tahu realisasinya,” kata Meidy ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (16/12/2025).

“Biar harga naik dong. Kalau produksi terlalu over kan harga pasti turun ya,” tegas Meidy.

Di sisi lain, pembatasan produksi tersebut juga dibarengi dengan pengetatan izin smelter baru yang hanya memproduksi produk antara atau intermediate.

Kementerian Perindustrian mengonfirmasi telah memperketat penerbitan IUI smelter nikel standalone —atau yang tidak terintegrasi dengan tambang— baik jenis pirometalurgi maupun hidrometalurgi.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Setia Diarta menjelaskan hal tersebut sesuai dengan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035 yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 14/2015.

Setia mengungkapkan dalam beleid tersebut diatur bahwa untuk pada 2025-2035, hilirisasi nikel di Indonesia tidak lagi diolah hingga kelas dua yakni NPI, FeNi, nickel matte, MHP; melainkan pada produk yang lebih hilir seperti nickel electrolytic, nickel sulphate, dan nickel chloride.

“Sesuai RIPIN PP No. 14/2015, untuk target industri pengolahan dan pemurnian nikel tahun 2025-2035 bukan lagi pada nikel kelas 2,” kata Setia ketika dihubungi.

Nikel dilego di harga US$14.392/ton pada di London Metal Exchange (LME) hari ini, menguat tipis 0,9% dari penutupan Rabu.

Harga nikel sempat mencapai rekor di atas US$100.000 per ton pada Maret 2022 akibat short squeeze pasar, tetapi sejak itu harga menurun tajam.

Sepanjang 2024, harga menyentuh rekor terendah dalam 4 tahun terakhir setelah sebelumnya diproyeksikan mencapai US$18.000/ton, turun dari perkiraan sebelumnya di level US$20.000/ton, menurut lengan riset dari Fitch Solutions Company, BMI.

Gejala ambruknya harga nikel sudah terdeteksi sejak 2023. Rerata harga saat itu berada di angka US$21.688/ton atau terjun bebas 15,3% dari tahun sebelumnya US$25.618/ton. Kemerosotan itu dipicu oleh pasar yang terlalu jenuh ditambah dengan lesunya permintaan. (azr/wdh)

Sumber:

– 18/12/2025

Temukan Informasi Terkini

Berita Harian, Jumat, 19 Desember 2025

baca selengkapnya

PNBP ESDM Tembus Rp228,05 Triliun, Mineral dan Batu bara Jadi Kontributor Terbesar

baca selengkapnya

Dividen Interim ADRO Jumbo Awal 2026, Yield Tembus 6% dan Kalahkan Bunga Deposito

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top