Logam Tanah Jarang (LTJ), salah satu komoditi tambang yang lagi banyak diburu. Bahkan baru-baru ini Presiden Trump mengancam Tiongkok untuk menerapkan 100% tarif masuk untuk import mulai 1 November 2025 karena isu rantai pasok Logam Tanah Jarang. Sebelumnya bulan Februari 2025, US juga menyampaikan keinginginannya untuk membantu Ukraina kaitan perang dengan Rusia, bila US dapat akses penuh ke LTJ dan Mineral strategisnya Ukraina.
LTJ adalah mineral yang jarang ditemukan ini termasuk mineral strategis yang sangat dibutuhkan oleh aplikasi teknologi masa kini dan masa depan kususnya industri automobile, IT, smartphone, peralatan Kesehatan, termasuk industri Pertahanan. “Oleh karenanya dibutuhkan peta jalan pengembangan mineral dan LTJ dari hulu ke hilir dalam mendukung mineral strategis nasional,” tandas Edi Permadi, Tenaga Profesional Lemhannas RI.
Lingkungan strategis global menyebutkan, Tiongkok sejauh ini pemain utama mineral tanah jarang dunia. Lebih dari 60% pasokan bijih mineral tanah jarang dunia bersumber dari negara ini. Sementara proses serta pemurnian senyawa tanah jarang lebih dari 90% dilakukan di Tiongkok. Hal yang membuat banyak negara di dunia sangat bergantung pada Tiongkok, bahkan tahun 1992 Den Xiaoping pernah menyampaikan “Timur Tengah memiliki minyak, Tiongkok memiliki LTJ”.
Di sisi lain, kebutuhan mineral tanah jarang ke depan diperkirakan akan meningkat pesat. “Data menyebutkan di 2040 permintaan LTJ akan tumbuh 50-60% dan melampaui pasokan. Salah satu pemicunya adalah permintaan magnet permanen di kendaraan listrik dan turbin angin serta teknologi maju meningkat signifikan,” terang Edi.
Ada berbagai upaya untuk mulai mengurangi ketergantungan pada pasokan dari Tiongkok. Salah satunya dengan mendorong pengembangan LTJ di beberapa negara yang punya cadangan dan sumberdaya LTJ.
Indonesia sejauh ini diketahui memiliki potensi logam tanah jarang. Komoditas yang berhubungan dengan kehadiran LTJ, diantaranya timah, bauksit, nikel dan mineral radioaktif. Selain itu ada potensi juga pada batuan granitic. Namun untuk yang ini tingginya kandungan LTJ pada satu mineral terkait dengan tingginya radioaktif. Hal ini juga yang menjadi alasan sampai saat ini belum ada izin usaha pertambangan LTJ di Indonesia.
Meski demikian saat ini potensi LTJ yang sudah diakui publik ada pada monasit sebagai mineral ikutan timah. Ada beberapa unsur LTJ dalam monasit yakni serium dan lanthanum.
Presiden Prabowo Subianto pun telah mendorong pengembangan LTJ ini. Salah satunya lewat PT Timah,Tbk yang adalah produsen timah terbesar Indonesia. Perusahaan timah plat merah ini telah memiliki stok monasit sebagai produk samping dari timah. Disebutkan perusahaan punya cadangan monasit perlu dilakukan studi kelayakan yang menyeluruh agar dari sisi keekonomisan, teknis dan lingkungan dapat berkelanjutan.
Sejak 2010, Emiten berkode saham TINS sudah mulai melakukan studi terkait pengembangan LTJ. Perusahaan juga sudah membangun pilot plant di Tanjung Ular, Kabupaten Bangka Barat. Pilot Plant ini dibangun bersama MIND ID selaku Holding BUMN Industri Pertambangan Indonesia. Langkah-langkah percepatan dengan melakukan Kerjasama dengan pihak yang lebih maju untuk penambangan, pengolahan, hilirisasi dan industrialisasi menjadi produk akhir yang strategis untuk kedaulatan bangsa dengan mempertimbangkan sensivitas geopolitik dunia.
Eksplorasi, hilirisasi dan industrialisasi Jadi Kunci Pengembangan LTJ
Salah satu tantangan dari pengembangan LTJ di Indonesia adalah data cadangan. Saat ini data yang tersedia baru sebatas data sumber daya. Dari sisi potensi LTJ ada di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi dalam bentuk endapan.
Di Bangka Belitung ditemukan pada endapan Timah dengan sumber daya LTJ dalam bentuk mineral monasit dan berupa Xenotim dalam endapan alluvial timah.
Di Sumatera ada sumber daya berupa endapan laterit yakni di Tapanuli Utara. Di Kalimantan terutama Kalimantan Barat, memiliki potensi LTJ tipe laterit. Kemudian di Sulawesi sumber daya LTJ jenis laterit juga.
Data Badan Geologi menyebutkan Logam Tanah Jarang (LTJ) terdiri dari 17 unsur yaitu 15 unsur dari grup lantanida yaitu La, Ce, Pr, Nd, Pm, Sm, Eu, Gd, Tb, Dy, Ho, Er, Tm, Yb, Lu. Kemudian ditambah Y (Yttrium) dan Sc (Scandium). Semuanya memiliki kesamaan sifat kimia, sehingga keberadaannya biasanya didapat secara bersama dalam suatu mineral pembawa mineral tanah jarang.
Di Indonesia ini semua ditemukan, namun yang banyak ditemukan Nd, Pr, La, Ce, Sm, Y, Sc, Er dan Y. Sementara mineral pembawa LTJ yang sudah terkonfirmasi diantaranya adalah Monasit dan Xenotim dari pertambangan timah. Unsur LTJ didalam mineral Monasit didominasi La (lanthanum), Ce (Cerium), Nd (Neobdium). Sedangkan unsur LTJ didalam mineral Xenotim yang khas adalah kandungan logam Y (Yttrium).
Dari pertambangan bauksit terutama didapat kandungan logam Y (Yttrium), sedangkan dari pertambangan nikel terutama didapat kandungan logam Sc (Scandium).
Indonesia bisa menjadi pemain penting di mineral tanah jarang jika bisa menciptakan infrastruktur pengelolaan dari hulu hingga ke hilir. Oleh karenanya menurut Edi ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Dimulai dengan eksplorasi untuk mendapatkan data sumber daya dan Cadangan. Baik dengan standasasi Komite Cadangan Mineral Indonesia (KCMI) secara Nasional maupun Joint Ore Reserves Committee (JORC) secara internasional. Kemudian membangun industri yang bisa mengolah dan memurnikan LTJ. Kemudian membangun industri hilir dan manufaktur yang berbasis LTJ.
“Namun semua itu butuh regulasi yang didukung kebijakan yang kuat dan kerjasama yang terarah antar Kementerian dan lembaga. Juga regulasi mulai dari eksplorasi, penambangan, pengolahan, ekstraksi hingga pemanfaatannya di industri berbasis mineral tanah jarang.
Ia juga menyebutkan sejumlah kendala yang dihadapi selama ini. Mulai dari belum tersedia infrastruktur industri mineral tanah jarang. Kemudian data cadangan LTJ yang belum tersedia, dan tata kelola usaha belum diatur secara rinci. Hal lain lagi permasalahan mendasar sebagaimana industri pengolahan umumnya, belum diketahui secara pasti berapa jumlah potensi mineral tanah jarang di Indonesia yang tersedia.
“Saat ini, kegiatan eksplorasi terus menerus dilakukan guna memperoleh data yang lebih komprehensif mengenai sebaran, jenis mineral pembawa, serta perkiraan sumber daya LTJ. Lima pilar hilirisasi yaitu sumber daya manusia yang kompeten, permodalan yang kuat, teknologi, sosial license, dan peraturan lintas sektoral yang mendukung menjadi sarana pengembangan LTJ secara berkelanjutan di Indonesia,” tandasnya. Editor: Euis Rita Hartati