Sulfur Mahal, Vale (INCO) Sesuaikan Perencanaan di Smelter HPAL

PT Vale Indonesia Tbk (INCO) menyatakan ikut mencermati dinamika lonjakan harga sulfur global sembari menyesuaikan perencanaan bisnis jangka panjang dalam pembangunan smelter hidrometalurgi berbasis high pressure acid leach (HPAL).

Direktur Utama Vale Indonesia Bernardus Irmanto mengatakan proyek smelter HPAL perseroan masih dalam tahap konstruksi dan belum berproduksi.

Namun, dia memastikan sejauh ini tekanan harga sulfur tersebut tidak memengaruhi progres proyek smelter HPAL Vale, kendati tetap mewaspadai dampaknya terhadap rencana bisnis jangka panjang.

“Oleh karena itu, dampak langsung terhadap operasional kami saat ini, khususnya terhadap fasilitas produksi nickel matte di Sorowako, relatif masih dalam batas yang manageable,” kata pria yang akrab disapa Anto itu, ketika dihubungi Bloomberg Technoz, Selasa (5/8/2025)

“Meski demikian, kami tetap mencermati dinamika harga ini dengan saksama sebagai bagian dari perencanaan jangka panjang,” tegas dia.

Strutur Biaya

Anto menjelaskan dalam pengembangan proyek HPAL, Vale dan mitra telah merancang struktur biaya dan model bisnis yang sudah mempertimbangkan fluktuasi harga sulfur. Termasuk di dalamnya perencanaan strategis integrasi ke hulu untuk memastikan efisiensi operasional.

Dia membenarkan harga sulfur global memang mengalami tren kenaikan sejak tahun lalu, didorong oleh permintaan global yang kuat terutama dari sektor pertanian dan industri pengolahan mineral.

Akan tetapi, beberapa pekan terakhir, harga sulfur dinilai mulai menunjukan pertanda stabil, meski masih tetap berada pada level yang relatif tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya.

Anto tidak menampik kenaikan harga sulfur berisiko mengerek biaya bahan baku bagi smelter HPAL di Tanah Air.

“Secara keseluruhan, kami memandang tantangan ini sebagai pengingat akan pentingnya inovasi, efisiensi, dan kolaborasi. Industri ini terus berkembang, dan kami percaya bahwa dengan fondasi yang kuat serta mitra yang tepat, kami dapat menghadirkan solusi yang tangguh dan berkelanjutan bagi masa depan industri nikel Indonesia,” tuturnya.

Vale saat ini tengah mengembangkan tiga tambang besar tersebar di Bahodopi, Pomalaa, dan Sorowako yang dikombinasikan dengan pembangunan fasilitas HPAL sebagai bagian dari strategi hilirisasi di Indonesia. Tiga proyek jumbo ini memiliki nilai investasi mencapai US$8,5 miliar.

Vale baru saja mendapatkan persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) yang baru untuk blok Bahodopi, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu.

Perseroan menargetkan penjualan bijih nikel kadar tinggi atau saprolit sampai 2,2 juta ton pada semester II-2025, selepas persetujuan revisi RKAB didapat. Proses pengapalan bijih saprolit pertama telah dimulai pada Sabtu (26/7/2025).

Setelah itu, proyek Pomalaa dijadwalkan menyusul pada kuartal II-2026, sedangkan Sorowako akan menjadi tahap akhir dari rangkaian ekspansi Vale Indonesia. Ketiga tambang tersebut sepenuhnya dimiliki oleh perusahaan.

Dalam pengembangan hilir, Vale bermitra dengan sejumlah pemain global untuk membangun fasilitas HPAL.

Untuk proyek Pomalaa, Vale telah bekerja sama dengan Zhejiang Huayou Cobalt Co., Ltd (Huayou) dan Ford Motor Co dalam pembangunan smelter-nya.

Untuk Bahodopi, proyek dilakukan bersama GEM Hong Kong International Co. Ltd, dan di Sorowako, Vale kembali berkolaborasi dengan Huayou.

Adapun, harga mixed hydroxide precipitate (MHP), salah satu bahan baku baterai yang dihasilkan smelter HPAL, tercatat turun pada awal Agustus 2025, seiring dengan permintaan dari smelter hidrometalurgi di Indonesia yang melandai.

Menurut data Shanghai Metals Market (SMM), harga free on board (FOB) MHP Indonesia pada 1 Agustus tercatat sekitar US$12.496/ton nikel, atau hanya 83,5% hingga 84% terhadap harga nikel di indeks SMM.

Dari sisi suplai, menurut SMM, sirkulasi pasar MHP belakangan ini relatif ketat. Beberapa trader pun melaporkan menipisnya volume stok MHP yang tersedia.

“Beberapa pemain hulu dan hilir telah menandatangani pesanan untuk MHP kuartal IV dalam jumlah kecil [dari smelter HPAL di Indonesia],” papar SMM dalam laporan yang dilansir Jumat (1/8/2025).

Dari sisi permintaan, beberapa smelter HPAL tercatat telah mengajukan inquiry pada akhir pekan lalu, meskipun sentimen pembelian secara keseluruhan masih lemah.

“Secara keseluruhan, penawaran dan permintaan pasar [bahan baku baterai nikel] tetap ketat, dan harga diperkirakan akan stabil dalam jangka pendek,” tulis SMM.

Sementara itu, harga acuan nikel sulfat SMM tercatat sebesar 27.132 yuan per metrik ton dengan penawaran yang masuk pada kisaran 27.130-27.610 yuan/ton. SMM melaporkan rerata harga nikel sulfat terbilang stabil, meskipun pasokannya terbatas.

Untuk diketahui Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mencatat, saat ini terdapat 10 proyek smelter HPAL di Tanah Air. Sebanyak 6 di antaranya sudah beroperasi, sedangkan 4 lainnya masih dalam tahap konstruksi.

Enam smelter hidrometalurgi yang sudah beroperasi tersebut mencakup 15 lini produksi dengan kebutuhan bijih nikel sejumlah 62,25 juta ton basah atau wet metric ton (wmt). Empat yang masih dalam konstruksi mencakup 6 lini produksi dengan kebutuhan bijih nikel 56,94 juta wmt.

Secara kumulatif, kesepuluh smelter HPAL tersebut membutuhkan 119,20 juta wmt bijih nikel. (azr/wdh)

Sumber:

– 05/08/2025

Temukan Informasi Terkini

Berita Harian, 6 Agustus 2025

baca selengkapnya

PNBP Minerba Tembus Rp76,9 Triliun hingga Juli 2025, ESDM Sebut Terbesar dari Batu Bara

baca selengkapnya

Antam Tingkatkan Porsi Penggunaan Energi Bersih

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top