Susun Standar
Ketua Badan Kejuruan (BK) Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli menjelaskan selama ini standar ESG di industri tambang yang bisa diterima oleh pasar internasional adalah Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA).
Hanya saja, dia tidak menampik, persyaratan dalam standar IRMA masih memberatkan bagi pelaku industri pertambangan nikel di Tanah Air.
“Sekarang ada kampanye bahwa nikel Indonesia adalah dirty nickel, karena belum semua perusahaan kita menerapkan ESG. Sekarang standar ESG itu dari luar semua, dan kita tidak mampu untuk mengikuti standar yang sangat tinggi seperti IRMA dan macam-macam,” ujarnya di sela forum yang sama.
Untuk itu, Rizal menyebut Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) tengah menggodok standar yang bisa diberlakukan di Indonesia.
Standar ESG yang tengah disusun tersebut tetap akan menyelaraskan dengan kriteria yang berlaku di pasar internasional, tetapi dengan tidak memberatkan pelaku industri di dalam negeri.
“Tahap awalnya adalah bagaimana perusahaan-perusahaan kita itu bisa mengaplikasikan ESG dahulu. Kalau semua sudah standar dengan perlindungan, nanti baru standarnya dinaikkan bertahap. Jangan langsung ikut IRMA, enggak kuat,” kata Rizal.
Standardisasi ESG yang sedang disusun tersebut terutama akan diterapkan untuk pertambangan nikel, sebelum diperluas ke sektor lain seperti batu bara.
“Nanti kita akan berikan masukan ini kepada pemerintah, sehingga itu bisa dibuat semacam [rujukan]. Nanti akan kita kasih [ke Kementerian ESDM],” ujarnya.
Di sisi lain, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) sebelumnya memperingatkan ongkos produksi nikel di Indonesia bisa makin mahal, seiring dengan kian ketatnya persyaratan ESG di pasar komoditas global.
Sekjen APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan negara tujuan ekspor nikel, terutama Uni Eropa (UE), makin memperketat persyaratan rendah karbon dalam proses produksi berbagai komoditas, tidak terkecuali mineral logam dan produk derivatifnya.
“Ini yang lucu, kita ini disyaratkan wajib [memenuhi kriteria] ESG. Ini sudah umum ya, dari ore [bijih] sampai ke pabrik, sampai ke produk olahannya. Apapun itu. Kalau namanya ESG, berarti ada penambahan biaya,” ujarnya saat dihubungi, belum lama ini.
Meidy menjelaskan syarat ketertelusuran jejak karbon tersebut akan mengerek ongkos produksi industri nikel di Tanah Air, lantaran produsen harus berinvestasi lebih mahal untuk menjadikan praktik bisnisnya lebih ramah lingkungan.
Misalnya, investasi untuk menghentikan penggunaan pembangkit berbasis batu bara dalam kegiatan produksi nikel, maupun investasi ramah lingkungan lainnya.
Permasalahannya, Meidy menggarisbawahi kondisi pelaku industri nikel di Tanah Air saat ini sebenarnya sudah ‘berdarah-darah’. Mereka ditekan oleh tren harga nikel yang terus menurun selama dua tahun terakhir.
“Kalau harga [biaya produksi] nambah untuk memenuhi syarat ESG, apakah ada buyer-nya untuk nikel premium yang katanya sudah berbasis ESG? Kan belum ada. Harga masih sama, tetapi kita ada penambahan cost. Terus demand-nya juga berkurang, tetapi kita diwajibkan untuk memenuhi syarat ESG,” tuturnya.
“Demand ke depan makin berkurang ini, sedangkan harganya segitu-gitu saja, malah menurun ini harga nikel. Maksudnya, secara hukum ekonomi, harga menurun tetapi produsennya disuruh tambah biaya untuk ESG. Nah gimana? Belum lagi ada PPN 12%. Tambah gila lagi kita ini.”
Sejak awal tahun lalu, London Metal Exchange (LME) dibanjiri desakan oleh banyak perusahaan tambang Barat untuk membedakan klasifikasi antara ‘nikel hijau’ atau green nickel dan nikel biasa dalam perdagangan komoditas logamnya.
Penambang-penambang global menilai nikel murah yang diproduksi di Indonesia telah merusak harga pasar nikel premium, yang diproduksi dengan ongkos lebih mahal lantaran menggunakan sistem dan teknologi ramah lingkungan. (wdh)
Sumber: https://www.bloombergtechnoz.com, 3 JUni 2025